7:08 PM
So Sial Nih Media
7:08 PMManusia... Manusia itu punya otak (Yaiyalah, lo kira di kepala lo itu apa? Jambu air?). Otak manusia itu dibuat sedemikian rupa buat be...
Manusia...
Manusia itu punya otak (Yaiyalah, lo kira di kepala lo itu
apa? Jambu air?). Otak manusia itu dibuat sedemikian rupa buat berfikir.
Berfikir, berarti punya batasan dalam melakukan sesuatu. Punya batasan dalam
melakukan sesuatu, secara nggak langsung mengimplementasikan kalau kita sebagai
manusia harus punya yang namanya etika. Etika berarti melandasi pola pikir kita
supaya nggak bertindak seenaknya. Nah, supaya nggak bertindak seenaknya, salah
satu cara mudahnya adalah dengan menjaga omongan kita.
Tapi, manusia jenis apa kalau kayak gini... (Hanya contoh)
Simpulkan sendiri lah ya~ (Sumber Foto : Screenshot Timeline Line, Screenshot Snapgram Mba Gitasav)
*gaboleh ngatain hehe*
*eh tapi dikit aja*
*by the way, itu yang komentar tentang TNI, ekspresinya kayak
kepedesan abis makan mangga micin teman tahu-tahu yang sering dijual di bis*
Hehe...
Oke skip, terlepas dari itu semua, gua akan intro sedikit...
Padahal nih, di zaman sekarang ini, ada banyak hal baru yang muncul berkat
pesatnya perkembangan teknologi. Karena itulah, saat ini manusia hidup di dalam
kondisi yang serba praktis.
Gua jadi sedikit teringat sama apa yang pernah ditulis Tim
Urban dalam Blog-nya waitbutwhy.com.
Di dalam salah satu tulisannya yang berjudul ‘Neuralink and the Brain’s Magical Future’, Tim Urban menjelaskan teori
bagaimana cara dan proses perkembangan otak manusia dari zaman dahulu hingga
saat ini. Ia juga memprediksikan jika perkembangan pesat otak manusia masih
bakal terjadi selama manusianya itu sendiri masih ada di dunia ini. Jadi nggak
heran, kalau di zaman sekarang ini hal baru telah banyak diciptakan oleh
manusia, dan bahkan, secara nggak langsung manusianya sendiri mengalir masuk ke
dalam gaya hidup baru.
Dan gaya baru yang lumrah menurut gua sekarang, adalah bersosial
media. Kenapa? Karena rata-rata semua orang di dunia ini main yang namanya
sosial media, malah bukan cuma sekedar main, tapi kebanyakan orang justru ada
yang jadi addict sama sosial media.
(Gua menyebutnya dengan ‘kefanaan
yang terlihat nyata’)
Kalau mau berbicara jumlah, sosial media ini menjadi salah
satu ranah dari kemajuan teknologi yang emang banyak banget peminatnya. Di
Indonesia aja, menurut statistik terbaru, ada sekitar 79 juta dari total 255
juta manusia di Indonesia main yang namanya sosial media. Gak percaya? Bisa
dilihat nih link yang gua kutip di bawah ini :
Heran gak sih, dengan kuantitas yang bisa dibilang sangat banyak,
tapi pada nyatanya, kualitas cara bersosial media yang ditunjukkan rata-rata
orang di Indonesia justru cerminannya seperti screenshot di atas? (Bacot nying)
Hmm...
Sebenarnya udah lama gua muak sama apa yang akan gua bahas
disini. Sampai-sampai gua rela merhatiin komentar-komentar Line Today, supaya
dapet informasi yang konkrit untuk tulisan ini... (Sosoan nying)
Tapi, pembahasan perkembangan teknologi dan sosial media sendiri
juga udah pernah gua singgung di tulisan sebelumnya yang membahas tentang
‘Pentingnya Takaran Sensitif’, dan di tulisan ini, gua akan jauh lebih dalam
mengulik situasi dan kondisi rata-rata pengguna sosial media yang ada di
Indonesia.
Kalau pada nanya, “Kenapa sih lo tertarik banget ngebahas hal
begini? Nggak penting amat,” ya... Karena gua sendiri merasa miris (mungkin hal
ini juga untuk diri gua sendiri karena gua termasuk salah satu pengguna sosial
media) melihat kebanyakan pengguna sosial media di Indonesia yang nggak tau
cara ‘bersosial di dunia maya’ dengan baik dan benar. Mungkin nih, dengan apa
yang gua resahkan disini, juga bisa jadi hal yang diresahkan banyak orang...
(Tsah)
Gua sendiri pun udah menyusun beberapa urutan sub masalah,
atau mungkin bisa dibilang siklus masalah, yang menurut gua sendiri sekarang
ini sering banget terjadi... Mari dibaca dengan seksama, supaya kita sama-sama
paham akan situasi pelik ini.
(Sosoan ngebahas gapapa lah ya)
Sensitif-nya
(Kebanyakan) Orang di Indonesia
Maksud sensitif di sini adalah, cerminan orang yang mudah
terpancing emosi dalam hal apapun. Kenapa? Karena menurut gua, orang di Indonesia banyak
banget yang begitu. Makanya... Konten di Internet bisa dengan mudahnya
memancing pengguna sosial media di indonesia. Menurut bule orang Indonesia itu ramah?
Hm... Gak semua sih. Contohnya begini nih, coba perhatiin respon mamang parkir ghoib ketika di kasih duit kurang dari
2000 rupiah, pasti biasanya (yang sering gua rasain), bakal ngomel dan kepancing
emosi buat minta uang parkir lebih, padahal kan si mamang kampret itu nggak
punya lisensi sebagai tukang parkir, harusnya kan nggak di bayar pun ikhlas
dong... (Loh, eh?)
(Pengalaman pahit bersama mamang
parkir)
Ikut-ikutan Emosi,
Ikut-ikutan Masuk ke Dalam Masalah
Nah karena sensitif menghasilkan emosi, maka secara nggak
langsung hal tersebut akan membawa mereka masuk ke dalam masalah. Emosi itu diibaratkan kayak sumbu bom, yang kalau nyala, bisa ‘meledak’ dalam seketika.
(Bayangin aja ketika lagi main
petasan dan meledak, begitulah gambarannya emosi orang Indonesia)
Seketika Jadi Manusia yang
Expert Dalam Segala Hal
Ketika emosi membawa kita masuk ke dalam masalah, semua hal
yang bersangkutan yang ada di dalam masalah tersebut menjadi sesuatu yang mahir
kita bahas. Kita seakan-akan expert
dalam membahas masalah yang bersangkutan, malah bisa jadi sosoan tau segala
sesuatu cuma dari melihat satu sisi.
(Akhirnya jadi Jimmy Neutron, dan jidatnya
benjol karena kebanyakan tau segalanya)
Yang Penting Komentar,
Mikir Belakangan
Akibatnya, dikala menjadi expert,
komentar sampah pun seakan-akan jadi solusi yang paling bagus bagi kepuasan
batin. Pada akhirnya, tidak ada waktu bagi otak untuk berfikir karena emosi
telah memuncak, dan sugesti berhasil mengarahkan untuk lebih baik berkomentar
ketimbang memikirkan apakah itu penting atau tidak.
Kalau Diciduk Polisi
Gara-gara Komentar
·
- Minta Maaf Klarifikasi
Klarifikasi adalah cara minta maaf
paling mainstream di zaman sekarang ini, apalagi kalau udah diciduk sama polisi
gara-gara komentar ‘sampah’. Jadi nggak heran, kalau ngerasa salah di Internet,
dan banyak ‘netizen’ yang notice
dengan respon negatifnya, klarifikasi menjadi salah satu cara yang instan buat
nunjukin ke semua pihak kalau dirinya menyesal melakukan hal seperti itu. (Makan-Tidur-Komentar-Dihujat-Minta
Maaf)
- Penjara atau Hukuman Lain
Ini hukuman paling berat yang bakal diterima
para kaum pengujar kebencian dan si pembuat komentar ‘sampah’. Nah, tapi meski
penjara adalah hukuman paling berat, bukan berarti membuat kapok para netizen
yang suka berkomentar negatif... (Efek sensasi diliput dan bisa masuk TV)
Kalau Nggak Diciduk
Polisi Gara-gara Komentar
- Jadi Bahan Gosip
Yap gosip. Kalau yang ini, mungkin sudah
tidak perlu dijelaskan... Karena gosip adalah kesenangan tersendiri, yang tercipta
secara otomatis pada setiap perkumpulan/populasi di Indonesia. Jadi gua rasa
ini adalah fase yang normal dalam siklus ini... (Menggores fakta setajam singlet)
- · Jadi Benci Sama Hal-hal yang Berbau Masalah Tadi
Karena sudah dalam tahap sensitif dan
terbawa oleh gosip tertentu, kebencian seakan-akan masuk ke dalam aura manusia.
Entah jenis iblis apa yang menghasut manusia bisa jadi seperti itu, tapi
menurut gua ini semua karena efek berkomentar negatif, dan hal ini bisa terjadi
pada diri pengguna sosial media.
- · Jadi Sangat Amat Sensitif, Lanjut Komentar Lagi
Fase ini yang paling lucu menurut gua. Karena yang
berkomentar negatif akan terus-terusan seperti itu, sampai penyesalan menghampirinya
di kemudian hari... Yap, siklus nya berulang kembali setelah fase ini.
Flow Chart
Sub Masalah (Bisa gua sebut sebagai ‘Alur Kehidupan Para Netizen’)
Kebayang gak sih, kalau emang sampai diancam bisa masuk
penjara, itu berarti ‘komentar negatif’ masuk ke dalam jenis tindak kejahatan
dong? Dan pembuatnya pun bisa dikategorikan sebagai penjahat (Oh nying). Menjadi
sangat amat tidak wajar kan kalau semua jenis penjahat seperti itu ditangkap? Penjara
bisa penuh, dan nanti isinya cuma orang-orang yang berkomentar ‘sampah’ di
Internet. Nanti koruptor bisa kalah dong pamornya sama jenis kejahatan kayak begini...
***
Maka dari itu, kalau balik lagi dan melihat foto screenshot
yang gua letakkan di awal tadi, cara bersosial media rata-rata orang di
Indonesia justru memperlihatan pada kita semua, kalau perkembangan otak manusia
berbanding kebalik sama apa yang telah dikatakan Tim Urban dalam tulisan di blognya...
(Downgrade quality)
Ibarat analoginya begini, ketika manusia primitif diberikan smartphone, mereka mungkin akan mengira
benda tersebut terlihat seperti sebuah ‘ganjel’ atau bebatuan aneh yang belum
pernah mereka temukan di wilayah mereka. Mungkin juga, mereka akan menggunakan smartphone tadi tidak sesuai dengan
fungsinya.
Bisa jadi, smartphone
tersebut digunakan untuk alas memotong sayuran, alat bantu berburu atau bahkan
jadi alat pijat punggung karena smartphone
memiliki mode bergetar. Bayangin aja, sama halnya seperti sebuah respon lucu yang
terjadi di dalam film The Gods Must Be
Crazy, ketika si orang primitif melihat botol jatuh dari atas langit (yang padahal
jatuh dari helicopter). Nah oleh karena itu, menurut gua, hal itu sama seperti
cerminan sosial media yang ada di Indonesia, karena para penggunannya belum
sepenuhnya tahu fungsi dan tujuan dari sosial media itu sendiri...
Mungkin ada yang berfikir seperti ini, “Resah mulu daritadi, terus solusinya apa? Jangan bacot doang
lo kayak lagi jual sabun!”
Oke oke, memang gua terlihat seperti sedang menjual sabun.
Tapi dari apa yang gua resahkan, gua telah mendapati dua solusi untuk masalah ini. Bahkan ini pure dari sudut pandang gua
sendiri... (Jadi, kalau ada yang punya sudut pandang lain, silahkan di utarakan)
Solusi pertama gua adalah, pengarahan dan pendidikan yang detail mengenai sosial media. Bahkan, jauh lebih luas dengan memberikan pengajaran soal Internet. Yap, sejenis penjelasan tentang Internet of Things tapi secara lebih signifikan~
Karena hal yang gua jelaskan di atas adalah salah satu alasan
kenapa dan mengapa, pengajaran atau pendidikan mengenai suatu kemajuan
teknologi amat sangat dibutuhkan bagi seluruh kalangan manusia yang ada di muka
bumi ini. Apalagi nih, di Indonesia amat sangat butuh yang namanya pengarahan cara
bersosial media yang baik dan ‘sesuai’.
Solusi kedua gua adalah, lebih menerapkan ketidakpedulian terhadap
urusan orang lain dengan cara merubah sudut pandang kita dalam menanggapi
sesuatu (Bingung nying). Jadi, ketika ada sesuatu yang menurut kita nggak
lazim, respon yang kita tunjukkan harus berdasarkan hal yang kita pikirkan
terlebih dahulu, seperti ‘Penting atau Tidak’ urusan tersebut untuk diri kita
sendiri. Mungkin akan amat sangat sulit diterapkan, karena mindset rata-rata kebanyakan orang di Indonesia lebih nyaman
mengomentari hidup orang lain (Solusi ini termasuk untuk diriku, sang penjual
sabun).
Tapi... Semua penerapan solusi barusan, pasti butuh yang namanya
‘proses’ untuk mencapai suatu keberhasilan. Sebenarnya masih banyak masalah yang pelik di negeri kita ini, dan sosial media
sendiri hanyalah salah satu contoh ranah bermasalah yang ada di dalam tulisan ini. Namun jika kita mengingat kembali, keyataannya sosial media memang selalu menjadi sumber masalah dalam beberapa
waktu kebelakang. Sosial media pun kerap menjadi ‘tameng’ para pengecut yang takut
mengutarakan sesuatu dihadapan banyak orang dengan berbagai konten 'pengujar kebencian'.
Sudah sepatutnya, masalah sosial media ini bisa membawa kita untuk berfikir
kalau semua hal buruk dan baik itu memang sejatinya berawal dari dalam diri kita masing-masing.
Kemauan untuk bergeraklah yang akan mengarahkan pada kita, apakah ingin hidup ‘sama seperti orang lain’ dengan kenyamanan yang tidak baik, atau
menjadi ‘beda sendiri’ demi kebaikan yang lebih hakiki?
***
”Do something good, and good things come to you”