3:06 PM
Reuni 212: Gairah Persatuan, Semangat Perjuangan dan Menjalin Ukhuwah
3:06 PMAlhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT , atas berkat rahmat dan kuasa-Nya yang telah memberikan gua kesehatan, kenyamanan hidup ...
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, atas berkat rahmat dan kuasa-Nya yang telah
memberikan gua kesehatan, kenyamanan hidup dan kesempatan bernafas hingga
tulisan ini keluar. Kalau bukan rahmat dan kuasa-Nya, mungkin gua nggak akan bisa ngetik
tulisan ini sampai kelar. Di sisi lain, gua juga sangat bersyukur sekali karena di tahun ini
Allah SWT telah memberikan gua kesempatan meraih hidayah yang cukup banyak
untuk membuat gua berjalan kembali ke ‘trek’ yang seharusnya. Bahkan nggak
cuman hidayah, Allah SWT juga sangat berperan besar dalam membenahi cara
berpikir gua yang sebelumnya ‘sengklek dan bongak’ (baca: bengkok), menjadi lebih lurus dan lebih
meluas. Kalau kata orang-orang sekarang sih biasa disebut dengan ‘Hijrah’.
Entah apalah sebutannya, itu semua nggak penting. Yang
terpenting adalah momen dan efek yang gua rasakan. Yah begitu indah sekali. Pokoknya sangat sukar untuk
dideskripsikan dengan kata-kata. Dan kalau ditanyakan ‘apa ada yang berubah?’, pasti jelas
ada perubahan. Tapi, perubahan yang dirasakan itu bukan berupa perubahan fisik. Perubahan
yang dirasakan lebih ke
perubahan sikap, habbit dan cara
berpikir, persis
seperti yang sempat gua singgung di awal tadi. Nah selain itu, perubahan yang
gua dapati juga termasuk perubahan dari cara gua menyikapi momen persatuan umat
di Reuni 212, yang baru-baru ini sempat jadi trending di ranah publik maupun
sosial media.
Dan kebetulan, di akhir tahun 2018 ini –tepatnya tanggal 2 Desember 2018– gua telah diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk bisa mengikuti acara yang gua klaim sangat bersejarah itu. Padahal sebelumnya gua punya pemikiran yang begitu miring terhadap acara Reuni 212 ini karena terbawa framing isu. Namun sekarang gua justru sangat mendukung penuh, dan malah mau menjadi bagian permanen dari momen Reuni 212 ini di tahun-tahun berkutnya. Perubahan haluan dan cara pandang inilah yang juga gua anggap sebagai hadiah terbaik yang diberikan Allah SWT pada gua di tahun ini.
Kenapa gua bisa bilang begitu?
Karena, nggak ada lagi yang lebih berharga dari
merasakan persatuan seluruh
elemen umat. Semua
orang juga mungkin berharap momen persatuan seperti itu bisa muncul di kemudian
hari, dan momen Reuni 212 seakan-akan memang datang untuk
menjawab semua harapan itu. Bahkan, secara langsung momen ini menjadi
‘wadah luas’ yang berhasil menaungi rasa persatuan yang selalu didamba-dambakan semua orang. Jadi jangan heran, orang-orang yang nggak
tau makna dan substansinya banyak yang ‘kepanasan sambil ngomel-ngomel’ melihat
momen 212 ini. Padahal kan cuma orang ‘kurang waras’ aja yang benci sama
persatuan, ya nggak? *uhuk-uhuk*
Makna Murni Reuni 212
Tepat dua minggu sebelum acara Reuni 212, gua baru mendapat
informasi ternyata di tahun ini acara reuni masif tersebut akan digelar lagi di monas. Wah, antusias sekali gua
saat tau kabar itu. Gua pun langsung menghubungi teman seperjuangan jihad gua
(baca: pejuang iman) untuk mengikuti acara Reuni 212 ini. Saking antusiasnya,
segala atribut yang bersangkutan tampaknya harus dibeli untuk dibawa ke acara
itu. Dari atribut bendera tauhid, topi tauhid sampai ikat kepala tauhid,
menjadi kebutuhan ‘wajib’ yang harus dibeli dan dibawa. Tapi, pada akhirnya gua
dan teman gua hanya memprioritaskan membeli dan membawa bendera tauhid,
dikarenakan gairahnya lebih terasa setelah panji Rasulullah ini sempat
dihinakan dengan dibakar oleh oknum-oknum caper yang ngebet viral di internet.
Seminggu berikutnya, gua kemudian memesan tiket keberangkatan
menggunakan kereta dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Gambir. Setelah semua
persiapannya beres, tepat pada Sabtu malam, gua dan teman gua pun langsung
berangkat menuju Jakarta. Kami berangkat pukul 20.50, dan sampai di lokasi
pukul 00.30. Percaya nggak percaya, ternyata banyak rombongan peserta Reuni 212
yang satu kereta dengan kami. Wah, antusiasmenya besar sekali, nggak seperti
yang gua pikirkan sebelumnya.
Sesampainya gua di Stasiun Gambir, gua dan teman gua langsung
mengganti pakaian dengan ‘dresscode’
yang umum dipakai di acara Reuni 212, yaitu ‘dresscode’ berwarna putih. Gokil! Gairah persatuaan seakan keluar
dengan sendirinya. Gairah ini juga melahirkan hasrat dan semangat pembelaan
terhadap bendera tauhid, sebagai bentuk protes atas penghinaan yang telah dilakukan
oknum-oknum caper tadi. Entahlah, apakah ini semua sugesti atau bukan, tapi
yang jelas gairah tadi sudah terasa sangat menggelora. Mungkin agak lebay kalau
dibayangkan, tapi mau bagaimana lagi, perasaan yang gua rasakan ini memang
sulit untuk dideskripsikan dengan rangkaian kata-kata.
Setelah gua keluar dari Stasiun Gambir, gua langsung
bergabung dengan peserta Reuni 212 yang lain yang ada di sana. MasyaAllah,
bener-bener nggak gua sangka, aura dan kondisinya sejuk banget. Gua melihat
banyak keunikan di sana. Dan yang bikin kaget, ternyata nggak cuma orang dewasa
aja yang ikut acara Reuni 212 ini, banyak juga anak kecil yang lari-lari dengan semangat kegirangan
menyambut acara ini,
padahal waktu itu jam masih menunjukkan pukul 01.00 pagi. Gua juga kemudian banyak bercengkrama dan mendengar
percakapan orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia yang ikut ke
sana. Ada yang dari
Sukabumi, Tasikmalaya, Bekasi, Ciamis, Solo, Padang dan masih banyak lagi.
“Eh mas, dari mana ya?” terdengar
seorang Nenek bertanya kepada Anak laki-laki yang duduk di sebelah gua.
“Kita dari Sukabumi nek hehe, Nenek
dari mana ya?” tanya Anak laki-laki itu.
“Saya dari Jakarta mas, deket
sini, ini bareng sama Anak saya juga, naik apa mas kesini?” tanya si Nenek.
“Oh deket ya nek, kita jalan kaki
bu dari Sukabumi, baru aja nyampe tadi jam setengah satu hehe,” jawab si Anak
lak-laki itu, yang sekaligus membuat percakapan diam sejenak selama 30 detik.
“Wah nggak capek mas? Kagum saya,
sayangnya saya udah nenek-nenek, coba saya masih muda, mungkin saya bisa kayak gitu,”
guyon si Nenek.
MasyaAllah, gua hanya terkagum
dalam hati. Meski mereka berbeda-beda daerah, tapi euforia
persatuannya kental terasa. Gua dan teman gua juga saling ikut berinteraksi dengan mereka, dan kami mulai membicarakan unek-unek soal
ketidakadilan di negeri ini. Kami membicarakan soal kriminalisasi
ulama, media yang berat sebelah, framing isu, kebijakan cacat, fitnah-fitnah
kepada umat Islam berupa radikalisme, banyaknya pekerja asing dari Cina dan bentuk
ketidakadilan lainnya yang telah terjadi di negeri ini. Selain itu, mereka juga berbicara tentang proses
keberangkatannya ke acara ini (termasuk salah satunya yang sempat gua
kutip barusan). Gua juga
bahkan mendapat informasi dari mereka kalau ada yang lebih bikin terharu ketimbang
perjuangan jalan kaki dari Sukabumi. Kata mereka, nggak sedikit orang-orang penyandang disabilitas (salah satunya tunanetra) ikut serta dalam acara Reuni
212 ini, dan
mereka berjalan dengan bergandengan ke pundak masing-masing selama perjalanan menuju
ke lokasi. Gila! Sungguh
takjub sekali gua melihat semua ini.
(Sumber: Hidayatullah)
Selain itu juga, ada beberapa
penyandang disabilitas lain yang ikut meramaikan aksi persatuan umat ini.
(Sumber: Twitter)
(Sumber: Republika)
Jadi, nggak perlu mengorek lebih dalam pun
acara Reuni 212 ini sudah melahirkan makna murni. Makna murni dari acara ini dengan sendirinya memaparkan perjuangan umat, yang
notabene lahir dari kegelisahan
atas rasa ketidakadilan yang ada di negeri ini. Makna
murni yang tercipta di acara ini memunculkan Gairah Persatuan, Semangat
Perjuangan dan juga Menjalin Ukhuwah. Sama-sama
berharap dan memperjuangkan keadilan. Alih-alih acara Reuni 212 ini dipeributan publik karena dikaitkan
dengan gerakan politik, akan tetapi, kualitas makna yang terkandung dari acara ini sendiri justru semakin membuktikan
kalau asumsi seperti itu salah telak, dan semakin menunjukkan kalau gairah
Reuni 212 ini telah
melekat erat dengan sendirinya di dada umat yang ikut serta di dalamnya. Dan
perlu diingat, bukan cuman umat Islam loh yang merasakan ini, tapi juga semua elemen
umat di Indonesia, termasuk non-Islam.
(Sumber: Twitter)
(Sumber: Twitter)
Mereka secara otomatis merasakan gairah yang sama, semangat
yang sama dan tujuan yang sama, yaitu merasakan persatuan. Umat sudah muak dan
jengah dengan ketidakadilan di negeri ini, mereka ingin bersatu untuk menyuarakan kegelisahannya itu ke
publik. Maka Reuni 212
inilah yang mereka manfaatkan untuk merealisasikan semua itu dengan membentuk persatuan dari seluruh
elemen umat. Jadi, kalau hanya memandang semua maksud Reuni 212 ini dari orientasi
masing-masing, pasti akan susah menebak seperti apa rasa dan makna yang
terkadung badan di dalam acara ini. Tapi kalau mau berusaha untuk memandang pakai nalar akal sehat dan gairah yang
sama, insyaAllah makna murni itu bisa dirasakan dengan sendirinya.
Menjawab Stigma Negatif
Terhadap Reuni 212
“Apaan sih ini? Demo-demo
radikal, mana toleransinya?”
Begitulah kurang lebih respon gua
saat menyikapi acara 212 pada 2016, tepat ketika semua hal ini bermula.
Ya, 212 muncul sebagai demo dan aksi yang menginginkan keadilan dari pemerintah
untuk menghukum sang penista Al-Qur’an. Jelas banget kok, aksi 212 yang pertama
kali itu adalah bentuk aksi damai yang rapih dan terstruktur. Rumput nggak ada
yang rusak, infastruktur aman, suasananya sejuk dan tentunya berakhir dengan damai.
Situasinya kurang lebih sama seperti yang digelar di tahun ini, letak bedanya cuma
di jumlah pesertanya aja –di tahun 2018 ini jumlahnya lebih banyak. Tapi karena
waktu itu gua hanya tau dari isu-isu yang di framing (gua juga nggak cari tau
lebih lanjut), maka otak gua nggak bisa ‘damai’ melihat aksi 212 ini. Gua hanya
bisa nyinyir-nyinyir sendiri, menganggap bahwa ini radikal dan nggak toleran,
padahal makna serta substansi dari 212 aja nggak gua ketahui (plus waktu itu gua
nggak ikut ke sana).
Nah, setelah tau semua makna dan
substansi dari 212 ini, gua akhirnya tersadar, dan mulai berinstrospeksi dengan
mengakui bahwa otak gua sangat ‘sengklek’ waktu itu. Jadi, sama seperti halnya
respon-respon negatif yang ditunjukkan oleh orang-orang sekarang yang nggak tau
‘apa sih sebenarnya makna 212 itu?’. Momen dari 212 ini memang ada di 2016,
namun justru dari situlah aksi 212 ini mengalami perubahan. Kalau kata Rocky
Gerung sih, dengan sendirinya aksi 212 ini berubah dari momen menjadi monumen.
Wajar kalau semua orang ingin kembali bereuni di 212 ini. Karena tujuannya
tetap sama kok, yaitu menuntut keadilan. Maka otomatis monumen 212 ini menjadi salah
satu sejarah besar yang ada di Indonesia. Hanya saja, nggak banyak orang yang berpandang
ke arah sana karena telah terpengaruh oleh framing isu, jadi makna ini masih
banyak di pandang sebelah mata. Butuh sebuah pemikiran yang meluas ke berbagai sisi
untuk menyikapi hal ini. Nggak bisa kalau hanya berpikir dari satu sisi.
Makannya, banyak orang yang
sampai detik ini masih nyinyir sama Reuni 212. Dan bentuk kalimat nyinyirnya persis
kok sama apa yang pernah gua katakan dulu. Menurut gua, mereka yang nyinyir itu
sebenarnya cuma ada dua kategori. Yang pertama itu orang yang nggak tau apa-apa
tapi terkena framing isu, dan yang kedua adalah orang yang merasa kekuasannya terancam
(sumber ketidakadilan). Karena pada hakikatnya, pandangan seseorang itu
tergantung orientasi, yang nantinya bisa langsung ditebak ke mana arah pikirannya.
Kalau orientasinya kekuasaan, harta dan kesenangan, mau ngeliat apa aja pasti cuma
bisa mengandalkan asumsi dan logika framing. Tapi kalau orientasinya persatuan,
ngeliatnya pakai nalar akal sehat dengan menyikapi sesuatu hal secara luas. Sama
halnya kayak ngeliat aksi Reuni 212 ini. Secara nalar akal sehat, yg ikut
disitu ada kurang lebih 13 juta umat, dan yg ikut ke sana melaksanakan kegiatan
dengan rapih, bersih, aman damai dan tenteram. Isi acaranya juga rata-rata berdo’a,
berdzikir dan orasi meminta keadilan. Lah masa iya sih, ada yg menyimpulkan isi
aksinya radikal, nggak toleran dan kampanye terselubung? Padahal yang bilang begitu
nggak ikut ke lokasi.
Coba deh gunakan nalar akal sehat.
Kalau benar acara Reuni 212 ini adalah acara yang radikal, nggak damai dan
nggak toleran, lantas kenapa banyak anak kecil yang dibawa orang tuanya datang
ke acara ini? Kan logikanya begini, orang yang mau datang ke konser band metal atau
EDM aja pasti nggak akan bawa anak kecil, nah gimana kalau dibawa
ke acara yang isinya radikal, nggak damai dan nggak toleran? Coba pikir deh, kalau banyak anak kecil yang ikut dibawa ke sebuah acara yang jumlah orangnya masif seperti acara Reuni 212 ini,
itu berarti isi acaranya ‘masuk akal’ untuk diikuti oleh semua kalangan kan? Hayo, masa sih masih punya anggapan negatif terhadap Reuni 212? Jadi sekali lagi, tolong gunakan nalar
akal sehatnya yah.
(Sumber: Twitter)
Padahal, gua yakin orang yang nyinyir
sama acara seperti Reuni 212 ini nggak paham ‘apa sih sebenarnya radikal dan intoleran
itu?’. Mereka semua hanya membentur-benturkan tanpa mengerti makna dan
substansi yang sebenarnya. Ditambah lagi, framing isunya begitu masif
disebarluaskan oleh pihak-pihak yang nggak bertanggung jawab. Bahkan yang lebih
parahnya, media-media mainstream di Indonesia juga begitu sangat keliatan ‘berpihak
ke siapa’ setelah acara sebesar Reuni 212 ini nggak diliput sama sekali (kecuali
media dari TV One). Media-media yang seharusnya netral ini malah berat sebelah.
Jadi wajar kalau semua persoalan ini telah membuat sebagian besar orang berpandangan
kurang baik sama Reuni 212. Maka solusinya cuma satu, untuk menyikapi segala hal di periode-periode pelik seperti tahun politik ini, tolong gunakan nalar akal
sehat saat melihat sebuah isu yang muncul ke publik.
***
Manusia itu diciptakan dengan dua
hal krusial, yang kalau dikombinasikan bakal menjadi sesuatu yang lebih dari
sekedar ‘makna’. Tapi, kalau hanya digunakan salah satunya atau berat sebelah, manusia
justru bisa kehilangan ‘makna’. Dua hal krusial itu adalah Otak dan Hati. Jika
terlalu menggunakan Otak untuk segala hal, Hati bisa terkunci dan membatu. Dan jika
terlalu menggunakan Hati untuk segala segala hal, Otak bisa membeku dan rawan
ditipu. Maka dari itu, nggak ada cara lain selain mengkombinasikan keduanya dalam
menyikapi segala sesuatu. Pun sama halnya dengan menyikapi Reuni 212 ini. Kalau
merasa diri belum cukup ilmu, maka seharusnya lebih banyak belajar untuk mencari
tau. Dan kalau merasa diri belum bisa menerima sebuah perbedaan, maka
seharusnya lebih banyak belajar untuk berlapang dada.
“Jangan terlampau
benci kepada sesuatu yang belum dimengerti. Kalau memang belum mau mengerti,
setidaknya cobalah untuk kenali.”
-Penulis-