Guk Guk Guk... Guk Guk Guk...

Beberapa waktu yang lalu, gua secara nggak sengaja menemukan satu trend topic aneh di Twitter, yang kalau nggak salah, terdapat sekit...



Beberapa waktu yang lalu, gua secara nggak sengaja menemukan satu trend topic aneh di Twitter, yang kalau nggak salah, terdapat sekitar 14 ribuan orang lebih turut ikut meramaikan topik ini. Trend topic tersebut adalah “Taik Anjing”.


Trend topic ini dengan seketika membuat pikiran gua mulai membayangkan hal yang absurb. Makannya, setelah itu gua langsung mencoba untuk berpikiran positif bahwasannya, isi bahasan dari trend topic “Taik Anjing” ini mungkin adalah soal informasi penemuan pupuk tanaman baru yang berasal dari “Taik Anjing”. Atau jangan-jangan, ada satu program baru dari pemerintah untuk menggunakan inovasi “Taik Anjing” sebagai bahan penghemat BBM.

Tapi mau dikata apa, yang terjadi justru di luar pikiran positif gua. Ternyata isi bahasan pada topik “Taik Anjing” ini muncul hanya karena segelintir orang meluapkan dan menyampaikan emosi kepada mantan kekasihnya lewat sebuah thread di Twitter. “Taik Anjing” di sini cuma difungsikan sebagai penarik perhatian dan rasa simpati para pengguna Twitter lainnya agar mereka bisa membaca atau turut ikut meramaikan thread tersebut dengan berbagai respon.



Perlu ditekankan, trend topic seperti ini nggak akan muncul dengan sendiri tanpa ada seseorang yang mengawali untuk menyampaikannya ke publik. Makannya, gua nggak habis pikir ketika sadar kalau dari sekian banyak persoalan pelik yang sedang dialami Indonesia, kok bisa ada 14 ribuan orang yang lebih mood memilih membahas “Taik Anjing” ketimbang yang lain...

Sebetulnya, semenjak muncul kultur “bebas menyampaikan sesuatu” di sosial media, nggak cuma soal bahasan seperti “Taik Anjing” ini saja yang kerap menghebohkan jagat trend topic di Twitter. Bahasan-bahasan dengan pola serupa, dari yang jorok, receh, atau sampai hal yang nggak bermakna sama sekali lainnya, pun sering menghiasi ranah sosial media Twitter.

Tapi anehnya, rata-rata dari kebanyakan netizen di Indonesia justru senang dengan bahasan yang seperti ini.

Ada apa ini?

Alih-alih dapat membuat sosial media terlihat sebagai ranah kemajuan yang fantastis seperti yang diharapkan banyak orang, dalam konteks ini, netizen di Indonesia kok malah lebih memilih membuat sosial media tampak memble dan seperti nggak ada nilainya.

Bahkan nggak cuma sampai di situ. Sebagian yang menikmati kultur kebebasan ini selalu berdalih bahwasannya bentuk bahasan remeh temeh, jorok, aneh, dan sebagainya itu hanya dikonsumsi atas dasar hiburan semata. Mereka terus berkoar dengan pembelaan-pembelaannya seperti “nggak usah dianggap serius” atau “toh banyak juga yang suka”. Maka wajar saja kalau bahasan semacam ini perlahan-lahan semakin berubah menjadi siklus yang terus berulang.

Padahal, kalau mau dibahas secara mendalam, persoalan kebebasan ini bukan hanya berhenti sampai masalah “selera” hiburan saja. Karena kalau sekedar persoalan “selera” hiburan, itu mungkin nggak jadi masalah yang berarti. Tapi, persoalan kultur ini pada faktanya memberikan “efek samping” yang begitu signifikan bagi cara berpikir netizen di Indonesia. Terutama kepada kalangan anak mudanya.

“Loh kok bisa?”

Karena yang namanya sesuatu yang dikonsumsi itu akan memberikan efek kepada siapa yang mengkonsumsinya. Termasuk sesuatu yang dianggap sebagai hiburan. Apalagi jika ditambah dengan intensitas konsumsinya yang sangat sering, maka efek sampingnya akan jauh lebih besar lagi.

Kalau gua contohkan misalnya, seseorang yang terbiasa dan sering mengikuti serangkaian cerita atau konten horor di sosial media, pasti secara nggak langsung akan mempunyai konsep pemikiran perihal hal-hal ghaib berdasarkan dari apa yang si pembuat cerita atau konten horor tersebut berikan. Dampaknya, cara dia bersikap tentang hal ghaib pasti nggak akan jauh-jauh dari maklumat (informasi) yang dia terima dari si pembuat cerita atau konten horor.

Atau contoh lain misalnya, seseorang yang sering mengkonsumsi vlog dari youtuber terkenal yang mengaku dirinya sebagai influencer hanya karena menampilkan konten-konten asal bicara di depan publik, pasti setidaknya akan punya sebuah pandangan bahwa bertindak serupa merupakan sesuatu yang asyik untuk dilakukan. Atau miminal seseorang tersebut akan mempunyai cara komunikasi yang mirip dengan si vlogger.

Ini semua bukanlah teori cocoklogi dari sebab dan akibat. Karena memang pada umumnya manusia pasti terpengaruh oleh apa yang jadi kebiasaannya. Terlebih lagi kalau sudah mencakup pengaruh pemikiran, maka dampak yang dirasakan manusia akan sangat signifikan. Kalau menurut Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani di dalam kitabnya Nizhamul Islam, pemikiran itu akan membentuk dan memperkuat persepsi manusia terhadap sesuatu.

Maka sama halnya dengan trend topic Twitter “Taik Anjing” tadi. Itu berarti selama ini ada banyak orang yang punya persepsi bahwa mengkonsumsi hal aneh dan nggak bermanfaat seperti itu adalah sebuah hiburan. Efek sampingnya, mereka jadi lebih cenderung suka dengan keanehan yang kerap muncul di sosial media. Entah itu dalam bentuk yang receh, kebodohan, galau remeh temeh, guyon, atau hal nggak ada manfaat lainnya, pada intinya semua jenis konten seperti itu merupakan sesuatu yang bisa dibilang sebagai topik favorit karena telah jadi kebiasaan.

Jadi, bisa disimpulkan dong kenapa banyak sekali muncul keanehan-keanehan dari segelintir orang Indonesia yang malah menjadi viral di sosial media?

Ya itu karena memang kebanyakan dari pengguna sosial media di Indonesia terbiasa untuk memfasilitasi diri mereka dengan keanehan dan ketidakbermanfaatan. Bukankah menjadi hal yang wajar kalau rata-rata konten viral yang muncul memang sangat sejalan dengan kecenderungan dan kebiasaan dari para penggunanya?

Kan logikanya begini, jika para pengguna sosial media nggak cenderung atau nggak biasa suka dengan bentuk konten aneh dan nggak bermanfaat, maka secara otomatis konten dengan jenis tersebut nggak akan pernah jadi viral. Begitupun juga sebaliknya.

Lalu, kenapa justru ada sebagian orang Indonesia –yang sebenarnya sering mengkonsumsi hal aneh dan nggak bermanfaat– turut ikut protes atau mengomentari ketika keanehan dan ketidakbermanfaatan itu viral dengan dalih “mengkritisi”?

Padahal kan faktanya, yang “mengkritisi” sendiri secara tidak langsung telah memberikan pengaruh besar pada konten viral itu karena mereka berada di dalam satu spectrum yang sama, yaitu sama-sama penikmat keanehan dan ketidakbermanfaatan.

Tapi mau bagaimana, semakin aneh dan nggak manfaat, konten viral akan semakin menarik banyak perhatian. Jadi jangan kaget kalau sebagian diantara para penikmat keanehan dan ketidakbermanfaatan malah membuat konten tandingan untuk sekedar “mengkritisi” konten-konten yang viral tersebut.

Lebih anehnya lagi, biasanya kalau sudah sampai tahap banyak orang yang membuat konten “mengkritisi”, pasti akan spontan muncul beberapa wadah temporer untuk forum diskusi (biasanya paling sering muncul di kolom komentar). Wadah temporer ini akan sangat sejalan dengan intensitas ke-viral-an si kontennya. Semakin viral, maka semakin banyak pula yang akan turut “mengkritisi” dengan serangkaian respon berupa argumen yang dapat membuat orang “ngangguk-ngangguk”.

Atau biasanya, sebagian yang lain akan memberikan serangkaian respon berupa candaan dan guyonan, yang seolah membuat mereka terlihat berbeda  dari yang lain (anti-mainstream). Malah respon seperti ini biasanya lebih sering mendapatkan kredit baik karena dianggap menghibur.

Entah disadari atau nggak, tapi yang jelas, bagi gua sendiri siklus seperti ini sudah menjamur dan selalu menghasilkan pola yang sama. Intinya siklus seperti ini mudah sekali ditemukan karena pola proses terjadinya akan selalu mirip. Hanya saja masalahnya, siklus ini punya dampak yang fatal bagi cara berpikir.

“Hah? Dampak yang fatal?”

Seperti yang semua orang tahu, yang namanya konten aneh atau nggak bermanfaat pasti punya bobot ringan yang sangat mudah dimengerti atau diikuti oleh semua orang (termasuk para penikmatnya). Maka dari itu, biasanya para penyuka hal seperti ini lebih sulit menerima sesuatu (konten misalnya) yang bobotnya lebih berat dari biasanya. Secara intensitas, sangat jarang sekali dari mereka bisa mengkonsumsi sesuatu yang berbobot dalam setiap aktivitas sosial medianya.

Tapi meskipun begitu, dengan pola yang sama seperti yang gua sempat singgung sebelumnya, konten yang jenisnya berbobot pun bisa turut dikonsumsi oleh para penyuka keanehan dan ketidakbermanfaatan. Yang terpenting jenis konten berbobot tersebut punya satu kunci, yaitu sedang viral atau sedang hype. Kunci inilah yang memainkan peran penting bagi ketertarikan mereka untuk mengkonsumsi konten-konten di sosial media, termasuk konten yang ada bobotnya. 

Maka hasilnya, pola yang mereka lakukan akan senantiasa memunculkan situasi yang amburadul, dan bisa dibilang “hanya membuat gaduh sosial media” saja. 

Kalau gua analogikan, ibaratnya seperti seseorang yang tidak terbiasa mengangkat beban berat, tapi memaksa dirinya untuk mencoba mengangkat beban berat tersebut. Efeknya adalah, dia pasti kesulitan, dan mungkin setiap otot di tubuhnya akan merasakan sakit karena terlalu memaksakan diri ketika mengangkat beban berat tersebut.

Jadi ketika para penikmat hal aneh dan nggak bermanfaat di sosial media mencoba mengikuti sesuatu konten yang punya bobot lebih berat dari biasanya, mereka akan lebih cenderung kesulitan dalam memahami konten tersebut. Akibatnya, respon yang akan mereka berikan sebagai bentuk kritik atau komentar hanya bermodalkan dari intrepertasi sendiri.

Padahal, sesuatu konten berbobot selalu harus disikapi dengan konsep cara berpikir komprehensif, yang mencakup pemahaman ilmu, objektifitas, dan juga keterbukaan pikiran. Tapi mau bagaimana lagi, kebanyakan para penyuka keanehan dan ketidakbermanfaatan justru nggak punya konsep-konsep seperti ini. Seringnya, mereka hanya menggaungkan sebuah istilah-istilah –yang itupun hadir karena dianggap hype oleh banyak orang di sosial media (seperti open minded, dark joke, radikal, dsb)–, padahal di sisi lain mereka sendiri nggak paham apa sebenarnya substansi dari istilah-istilah tersebut.

Banyak sekali contoh konten-konten berbobot yang sering menjadi polemik pembahasan di sosial media. Misalnya seperti pembahasan poligami, politik, atau toleransi. Cuma sayangnya, ketika para penikmat kenaehan dan ketidakbermanfaatan turut ikut membahas, kebanyakan dari konten-konten tersebut menjadi kehilangan esensi yang seharusnya. Sekali lagi, yang kerap muncul hanyalah situasi amburadul dan kegaduhan akibat banyaknya debat kusir atau guyonan-guyonan yang tidak berarti.

Kesalahan dalam cara berpikir ini mirip seperti gambaran yang pernah dituturkan Ibn Khaldun, bahwa kondisi ini merupakan efek dari ketidaksanggupan seseorang dalam memahami maksud yang sebenarnya –yang dalam konteks ini adalah konten berbobot– akibat menyikapi segala sesuatu hanya lewat pemikiran dan pendengarannya saja.

Maka dampak yang terjadi selanjutnya adalah, siklus ini akan membawa setiap penyuka jenis konten aneh dan nggak bermanfaat untuk suka berkomentar seenaknya. Padahal sumber informasi luar mereka kebanyakan hanya diambil dari stigma-stigma publik, dan nggak sedikit dari mereka yang asal menelan sebuah argumen tanpa diverifikasi terlebih dahulu. Ya kurang lebih modalnya hanya “ngangguk-ngangguk” saja.

Akhirnya, dengan ditambah faktor “bebas menyampaikan sesuatu”, maka para penikmat keanehan dan ketidakbermanfaatan bisa dengan seenak hati menuturkan apapun di sosial media tanpa mengukur apakah yang dituturkannya bisa menjadi manfaat atau nggak. Yang terpenting bagi mereka adalah hasrat keseruan. Apa yang dituturkannya ini biasanya dibalut dengan keanehan, kegalauan, guyonan, kebodohan, recehan, atau sesuatu yang jauh dari kata “berfaedah” lainnya.

Nah, inilah yang menjadi alasan kenapa satu trend topic di Twitter seperti “Taik Anjing” yang gua angkat di awal tadi bisa sampai diikuti oleh sekitar 14 ribuan orang.

***

Kesimpulan yang gua dapat terkait dengan semua pembahasan dalam tulisan ini adalah, bahwa kegaduhan mainstream yang sering terjadi di sosial media faktornya nggak akan jauh-jauh dari persoalan kebiasaan mengkonsumsi keanehan dan ketidakbermanfaatan sebuah konten. Kecenderungan yang lahir dari kebiasaan inilah yang juga menjadi pemicu terbesar bagi sebagian orang untuk tergiring mengikuti suatu trend topic atau bahasan tertentu yang ada di sosial media tanpa mengukur maslahatnya (seberapa penting) terlebih dahulu.

Padahal, trend topic atau bahasan yang ada di sosial media tidaklah segamblang yang dikira. Bisa jadi, munculnya sebagian dari trend topic atau bahasan hanyalah sebuah intrik yang memang sengaja dihadirkan di sosial media untuk mengalihkan fokus mereka kepada sesuatu diluar masalah yang lebih krusial –entah itu dalam bentuk doktrin atau propaganda. Gua sendiri sudah pernah membahas poin-poin terkait persoalan ini secara merinci di dalam tulisan “Doktrin Manipulasi Lewat Framing Kemasan”.


Maka ujung-ujungnya, mereka yang sudah terbiasa berada dalam spektrum ini nggak sadar kalau ternyata mereka sudah banyak bicara (dalam bentuk tulisan) akibat teralu sering menyampaikan segala hal di sosial media.

Dalam pandangan Islam, banyak bicara adalah sesuatu yang sangat tidak baik. Apalagi isi pembicaraannya selalu jauh dari kata manfaat, ini merupakan ciri dari penyakit hati. Menurut penjelasan dari Ibnu Qoyyim, banyak bicara juga disinggung oleh Rasulullah SAW di dalam salah satu hadisnya dengan sebutan Assarsarun. Assarsarun itu artinya orang yang banyak bicara, dan Rasulullah SAW menyebut bahwa orang jenis ini adalah orang yang paling dibenci oleh beliau. 

Karena memang di satu sisi orang banyak bicara itu juga biasanya nggak punya kerjaan selain berkomentar tanpa aksi. Dengan begitu wajar kenapa Rasulullah SAW bisa sampai membenci orang jenis seperti ini.

Oleh sebab itu, sudahilah siklus buruk semacam ini. Sudah sepatutnya para pengguna sosial media meng-upgrade kualitas konsumsinya supaya lebih bisa memperoleh dampak yang lebih baik dari sebelumnya. Atau kalau nggak, ya minimal berhentilah untuk menyenangi sesuatu yang nggak ada manfaatnya sama sekali.

Terakhir, sebelum menutup tulisan ini, gua hanya ingin memberikan opsi-opsi bahwasannya hal yang asyik dan seru itu nggak harus didapati lewat konsumsi konten-konten aneh dan nggak bermanfaat. Ubahlah cara pandang kita agar keluar dari paradigma semacam itu. Indonesia saat ini sedang berada dalam ancaman masa krisis, baik itu krisis dari sisi moralnya hingga ekonominya. Jadi sudah tidak perlu lagi ditambah dengan krisis cara berpikir akibat dampak dari kebiasaan mengkonsumsi konten-konten aneh dan nggak bermanfaat.



“Ciri zaman yang sakit itu bisa terlihat dengan jelas dari lisan dan tulisanya.”

-Ustadz Budi Ashari-

You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images