5:37 PM
Doktrin Manipulasi Lewat Framing Kemasan
5:37 PMKesan spesial pernah gua dapati dari satu momen unik ketika gua masih sekolah di Sekolah Dasar. Di mana saat itu, gua pernah tertip...
Kesan spesial pernah gua dapati
dari satu momen unik ketika gua masih sekolah di Sekolah Dasar. Di mana saat
itu, gua pernah tertipu dengan mainan “Action
Figure” KW yang gua beli di salah satu penjual mainan. Gua merasa tertipu
karena mainan yang gua beli ini nggak sesuai sama gambar pada kemasannya yang
tampak bagus. Pokoknya bentuk dan kualitas mainannya nggak mirip sama sekali
dengan kemasannya. Sial sekali nasib gua, sudahlah membeli barang KW, masih juga
ketipu.
Tapi, saat itu gua nggak merasa kapok
dengan kejadian ini. Gua tetap membeli jenis mainan yang serupa, tetapi dari
penjual yang berbeda. Hasilnya apa? Ya, tetap sama aja. Isinya nggak sesuai
sama kemasannya. Kalau bisa diibaratkan, kemasannya itu kayak kardus iPhone,
tapi isinya itu malah Kalkulator warung bahan sembako. Gua terlalu terpukau
sama kemasannya. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu gua masih belum punya jiwa
yang menyesal dan belum mengerti harus bertindak seperti apa.
Wajar sih, karena waktu itu otak gua
masih belum berkembang, dan masih belum paham karena gua masih berusia sembilan
tahun. Gua hanya dapat memikirkan gimana caranya bisa menonton Naruto sehabis
pulang sekolah. Makannya, respon yang gua tunjukkan ketika gua mengalami hal ini
nggak terlalu heboh. Ditambah lagi, duit yang gua pakai untuk membeli mainan
itu pun masih pemberian orang tua. Jadi ya... Gua masih merasa nggak ‘rugi-rugi
amat’ –padahal sudah ketipu dua kali.
Tapi yang anehnya, respon yang
agak heboh justru munculnya sekarang. Tepat ketika gua ingin menulis tulisan
ini. Karena sekarang –setidaknya– gua sudah bisa memahami dan mempelajari
momen-momen yang gua alami itu seperti apa. Maka spontan gua sadar, “kok gua
waktu kecil nggak mikir ya kalau sudah ketipu sampai dua kali”. Di sisi lain,
saat ini gua juga menyadari kalau ternyata pemahaman itu penting untuk segala
aspek. Entah mau bentuknya objek ataupun subjek, pemahaman itu adalah sesuatu
hal yang harus kita punya. Termasuk untuk menyikapi masalah tipuan ‘kemasan
bagus’ ini.
Kenapa? Ya cerita gua di atas
itulah buktinya. Kalau nggak paham apa-apa, apalagi nggak paham kalau tertipu,
yang bisa kita lakukan itu ya cuma planga-plongo. Atau dengan kata lain,
bengong bingung linglung sendiri kayak cicak abis minum karbol. Maka seenggaknya,
mencoba paham itu bisa menjadi jalan keluar supaya kita nggak tertipu sama hal
apapun, termasuk sama sesuatu yang ‘dikemas bagus’.
Ngomong-ngomong, sebenarnya di
tulisan ini gua nggak hanya akan membahas soal hal yang ‘dikemas bagus’, tapi
gua akan lebih membahas dan fokus pada kepelikan serta keabsurban di era
milenial yang bener-bener ‘terbungkus atau terekemas’ oleh hal yang membuat banyak
orang termanipulasi. Makannya, gua akan sedikit memberikan informasi yang
semoga menjadi gerbang menuju keterbukaan pikiran (a.k.a Open Minded).
***
Sadar nggak sih, kebanyakan orang
sekarang telah terdoktrin dengan berbagai hal tapi nggak banyak yang sadar akan
persoalan ini. Banyak yang berdalih kalau sebenarnya ‘kewaspadaan’ terhadap
anggapan barusan itu adalah sesuatu yang lebay plus berlebihan. Padahal
nyatannya mereka yang berdalih itulah yang sudah terlampau nyaman dengan hal
doktrinasi ini. Bahayanya lagi, ketidakadaan kewaspadaan terhadap sesuatu ini
bisa memicu kepasifan dari dalam diri, dan bisa juga jadi dampak buruk untuk
persoalan lain yang lebih krusial seperti masalah hidup.
Sebagai contoh begini, kira-kira,
ada nggak orang-orang yang berlabel punya power dibidang gosip online merasa
jengah dengan pekerjaannya sendiri? Misalnya mereka tiba-tiba merasa kalau
sebenarnya pekerjaan yang mereka lakukan itu benar-benar tidak bermanfaat sama
sekali, nah kira-kira mereka bisa nggak merasakan hal kayak gitu? Jawabannya
pasti nggak mungkin. Kalaupun iya, pasti rasanya sulit sekali. Karena persoalan
seperti ini butuh waktu untuk menyadari dan memahaminya.
Alasannya kenapa? Simpel banget. Karena
mereka terlampau nyaman dengan ‘kemasan’ gosip online yang begitu menyenangkan
seperti eksistensi, uang dan pengetahuan soal ‘publik figur’ yang mendalam.
Padahal kalau dipikirkan lebih dalam lagi, yang mereka lakukan justru merugikan
sebagian pihak –yang umumnya adalah publik figur. Pelaku dan penggiat gosip online
pasti merasa seru atau bahkan terlampau ‘kepo’ dengan apa yang sedang hangat di
sosial media. Sehingga yang mereka miliki cuma seonggok informasi bodoh yang
tidak ada manfaatnya yang berdampak buruk pada kehidupan si
publik figur.
Mereka juga seolah menjadi expert untuk persoalan yang sebenarnya
mengganggu ini. Ada yang berusaha meraup informasi sedemikian rupa sampai
urusan pribadi dikesampingkan, ada juga yang langsung seketika berubah menjadi
agen gosip online untuk mendapatkan foto ‘terbaru’ sampai mengorbankan harga diri dan waktunya, bahkan ada yang sampai hilang akal dengan menghakimi ‘publik figur’ secara
fisik karena merasa emosi gosip online sudah meresap ke dalam jiwanya.
Kan absurb. Yang punya persoalan
siapa, tapi yang sibuk dan kepusingan siapa.
Ditambah lagi, selain persoalan
seperti gosip ini, orang-orang era milenial (khususnya di Indonesia) juga
gampang banget terbawa sama segala sesuatu yang sedang heboh, atau yang biasa gua sebut sebagai viralisme. Ada yang viral sedikit, kebanyakan
orang seolah harus ikutan terbawa dampak viral-nya. Apalagi kalau hal yang
viral tersebut ‘dikemas’ secara bagus, keren dan lucu, maka tampaknya yang
seperti ini dianggap asyik dan tidak bermasalah sama sekali. Melihat video viral
lucu, lalu tertawa-tawa dan bahkan ikut terbawa arusnya, seakan menjadi hiburan
yang nggak pernah lepas dari keseharian.
Selain itu, hal lainnya yang
identik dari viral adalah “challenge”.
Challenge ini mirip flu. Mudah banget
menyebar dan menginfeksi setiap orang –terkecuali yang punya ‘proteksi’ diri
kuat. Dari tahun ke tahun virus challenge
ini semakin dikemas dengan kekerenan, eksistensi dan berbalut ‘having fun’. Di sisi lain, semakin ke
sini, sebenarnya si challenge ini
semakin aneh dan bodoh bentuknya. Tapi walaupun begitu, tetep aja, masih banyak
juga yang nggak peduli untuk berpikiran ke arah sana dalam menyikapi ini. Contohnya,
di tahun ini aja, terdapat challenge yang
heboh dan mendunia yang sempat berhasil membuat orang-orang tampil goblok serta nggak tau
malu di publik sosial media dengan tarian bodoh di samping mobil yang sedang berjalan (gua menamakannya dengan kukuruyuk challenge). Namun apa yang terjadi setelah itu?
Challenge ini malah semakin tambah terkenal –meski
dalam jangka waktu yang nggak lama.
Super duper aneh bin ajaib.
Hal ini pun sontak memperlihatkan
seolah-olah cara berfikir orang-orang yang mengaku milenial ini terdoktrin oleh
sesuatu yang tampak menyenangkan. Dan ternyata benar saja, “you are what you watch”, dikutip dari
artikel IDN Times, seorang psikolog dan profesor asal Austria bernama Markus
Appel pernah menguji sekelompok mahasiswa dengan berbagai topik. Sebelum tes
dimulai, separuh siswa disuruh membaca cerita tentang pria konyol yang membuat
keputusan buruk. Setelah membaca kisah tersebut, performa para siswa ini
menjadi buruk dibanding kelompok siswa yang tidak membaca ceritanya.
Appel kemudian menyimpulkan bahwa
hal ini dikarenakan oleh "media priming." yaitu efek residual akibat
pengaruh media. Sehingga berakibat pada perubahan perilaku, pendapat, atau
kecerdasan. Maka sama halnya dengan yang sudah gua katakan sebelumnya, mungkin
memang tampak ‘dikemas’ lucu dan seru saat menonton video viral dan challenge dengan orang bodoh di
dalamnya ini, tapi faktanya ternyata kita harus sadar kalau kebodohan yang mereka
lakukan itu ternyata mudah menular.
That's so ridiculous.
That's so ridiculous.
***
Coba pikir deh, kita semua yang
hidup di era digital sekarang seolah secara langsung diarahkan (ter-direct) ke pusat perhatian yang sama, dan biasanya cenderung
menjadi terlalu santai karena terbawa efek ‘kemasannya’ yang dianggap begitu
tidak bermasalah. Pola pikir seperti inilah yang sebenarnya jadi persoalan terbesar dalam tulisan ini. Hidup di era yang semakin canggih seharusnya bisa
membuat kita lebih berpikiran cerdas dan terbuka dalam melihat segala hal meski
‘dikemas’ sedemikian bagusnya, dan bukan malah asal enjoy untuk menikmatinya.
Padahal, yang seperti ini
benar-benar punya efek buruk bagi respon kesadaran dan kepekaan kita sebagai
manusia yang menjalani kehidupan di dunia ini. Bahkan, kita juga bisa terancam terus-menerus
termanipulasi oleh doktrin kenyamanan yang dibuat para elit penguasa sistem dunia ini
supaya tetap berada di dalam pola pikir pasif. Nggak cuma itu, menurut Noam
Chomsky di dalam bukunya yang berjudul How
The World Works, manipulasi kenyamanan ini sangat efektif untuk melakukan propaganda
dan indoktrinasi yang nantinya akan mencabut kesadaran orang-orang atas dasar
hak dan sejarah hidup mereka sendiri.
Nah, selain itu juga, menurut
Chomsky sistem propaganda ini bukan hanya tentang isu-isu yang ‘dikemas’ dalam
berita, tetapi juga sistem ini dipresentasikan dalam bentuk hiburan di media –dan
sosial media tentunya. Dan ternyata, hiburan ini ditampilkan dengan tujuan
untuk mengalihkan para penonton atau pengonsumsinya dari kenyataan, dan membuat
mereka lebih bodoh, acuh dan apatis. Intinya, kita sebagai orang era milenial, bisa
terus-menerus terancam ditipu sama hal-hal yang selalu ‘dikemas’ dengan penuh kenyamanan ini kalau masih belum sadar dan belum mulai membuka pikiran lebih luas lagi.
Nah, sekarang paham kan kenapa harus
lebih concern, sadar dan peka terhadap
hal-hal di era milenial yang ‘dikemas bagus’ ini?
Sebenarnya, pepatah dari barat
yang berbunyi “don’t judge a book by it’s
cover” sekarang sudah menjadi dalih mainstream yang diketahui banyak orang.
Dan kalimat metafora ini memang sedikit menunjukkan maksud yang ‘benar’ untuk
beberapa persoalan, yang salah satunya adalah hal yang sering ‘dikemas bagus’
di era milenial. Arti atau maksud dari “don’t
judge a book by it’s cover” ini sendiri adalah “janganlah menilai sesuatu
hanya dengan melihat penampilan luar semata”. Itu berarti, pepatah ini
mengarahkan kepada setiap orang untuk tidak mudah terjebak dengan ‘kemasan luar’ yang
memanipulasi.
Jadi seharusnya setiap orang
sudah paham dengan problematika ini.
“Terus, cara kita untuk paham dan sadar akan hal itu gimana dong?”
Jawabannya cuma satu, mulailah belajar
untuk berpikiran terbuka supaya paham. Karena hanya dengan berpikiran terbukalah
segala sesuatunya bisa disikapi dengan jelas. Apalagi, era sekarang adalah era
di mana segala sesuatunya butuh kejelasan yang super jelas. Nah, kalau semakin
banyak kita berpikiran terbuka, maka semakin besar juga kemungkinan kita
mendapat kenyataan yang jelas. Malah nggak cuma itu, keterbukaan pikiran juga
membuat kita memiliki cara berpikir yang matang dan baik. So, pastinya hal ini akan berdampak positif bagi kehidupan kita.
Kalau kembali menyoal hal yang ‘dikemas’
bagus, sebenarnya di sini gua bukan mau menggiring opini, karena gua hanya
ingin membuat orang di era milenial (khususnya di Indonesia) paham dan sadar
kalau segala kenyamanan yang kita dapatkan sekarang nggak sampai memanipulasi
cara berpikir kita. Memang, nggak semua hal di era milenial mempunyai maksud
yang gua jabarkan di tulisan ini. Tapi berdasarkan data plus fakta yang sempat
gua jelaskan, situasinya lebih banyak yang merepresentasikan semua itu.
Yang jelas, sebagai manusia modern
yang hidup di era digital, seharusnya setiap individu bisa mempunyai pola berpikir yang
lebih luwes. Pola pikir yang dimiliki juga seharusnya dapat melahirkan pemahaman yang rasional. Sama halnya seperti kesan spesial yang gua dapatkan
ketika masih duduk di Sekolah Dasar, sebuah pemahaman rasional harus menjadi
poin utama dalam menyikapi apapun agar kita nggak menjadi orang yang terlihat bodoh karena nggak
tau apa-apa. Bahkan faktanya, pemahaman rasional itu sendiri lahir dari
keterbukaan pikiran.
Jadi, semua ini akan kembali pada diri pribadi masing-masing, apakah ingin lebih membuka pikiran dalam menyikapi segala hal agar memiliki pemahaman yang rasional, atau malah ingin tetap berada dalam doktrin manipulasi yang 'dikemas bagus' dalam bentuk kenyamanan.
Jadi, semua ini akan kembali pada diri pribadi masing-masing, apakah ingin lebih membuka pikiran dalam menyikapi segala hal agar memiliki pemahaman yang rasional, atau malah ingin tetap berada dalam doktrin manipulasi yang 'dikemas bagus' dalam bentuk kenyamanan.
“Jika
kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan.”
-Imam Syafi’i-