Doktrin Manipulasi Lewat Framing Kemasan

Kesan spesial pernah gua dapati dari satu momen unik ketika gua masih sekolah di Sekolah Dasar. Di mana saat itu, gua pernah tertip...




Kesan spesial pernah gua dapati dari satu momen unik ketika gua masih sekolah di Sekolah Dasar. Di mana saat itu, gua pernah tertipu dengan mainan “Action Figure” KW yang gua beli di salah satu penjual mainan. Gua merasa tertipu karena mainan yang gua beli ini nggak sesuai sama gambar pada kemasannya yang tampak bagus. Pokoknya bentuk dan kualitas mainannya nggak mirip sama sekali dengan kemasannya. Sial sekali nasib gua, sudahlah membeli barang KW, masih juga ketipu.

Tapi, saat itu gua nggak merasa kapok dengan kejadian ini. Gua tetap membeli jenis mainan yang serupa, tetapi dari penjual yang berbeda. Hasilnya apa? Ya, tetap sama aja. Isinya nggak sesuai sama kemasannya. Kalau bisa diibaratkan, kemasannya itu kayak kardus iPhone, tapi isinya itu malah Kalkulator warung bahan sembako. Gua terlalu terpukau sama kemasannya. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu gua masih belum punya jiwa yang menyesal dan belum mengerti harus bertindak seperti apa.

Wajar sih, karena waktu itu otak gua masih belum berkembang, dan masih belum paham karena gua masih berusia sembilan tahun. Gua hanya dapat memikirkan gimana caranya bisa menonton Naruto sehabis pulang sekolah. Makannya, respon yang gua tunjukkan ketika gua mengalami hal ini nggak terlalu heboh. Ditambah lagi, duit yang gua pakai untuk membeli mainan itu pun masih pemberian orang tua. Jadi ya... Gua masih merasa nggak ‘rugi-rugi amat’ –padahal sudah ketipu dua kali.

Tapi yang anehnya, respon yang agak heboh justru munculnya sekarang. Tepat ketika gua ingin menulis tulisan ini. Karena sekarang –setidaknya– gua sudah bisa memahami dan mempelajari momen-momen yang gua alami itu seperti apa. Maka spontan gua sadar, “kok gua waktu kecil nggak mikir ya kalau sudah ketipu sampai dua kali”. Di sisi lain, saat ini gua juga menyadari kalau ternyata pemahaman itu penting untuk segala aspek. Entah mau bentuknya objek ataupun subjek, pemahaman itu adalah sesuatu hal yang harus kita punya. Termasuk untuk menyikapi masalah tipuan ‘kemasan bagus’ ini.

Kenapa? Ya cerita gua di atas itulah buktinya. Kalau nggak paham apa-apa, apalagi nggak paham kalau tertipu, yang bisa kita lakukan itu ya cuma planga-plongo. Atau dengan kata lain, bengong bingung linglung sendiri kayak cicak abis minum karbol. Maka seenggaknya, mencoba paham itu bisa menjadi jalan keluar supaya kita nggak tertipu sama hal apapun, termasuk sama sesuatu yang ‘dikemas bagus’.

Ngomong-ngomong, sebenarnya di tulisan ini gua nggak hanya akan membahas soal hal yang ‘dikemas bagus’, tapi gua akan lebih membahas dan fokus pada kepelikan serta keabsurban di era milenial yang bener-bener ‘terbungkus atau terekemas’ oleh hal yang membuat banyak orang termanipulasi. Makannya, gua akan sedikit memberikan informasi yang semoga menjadi gerbang menuju keterbukaan pikiran (a.k.a Open Minded).

***


Sadar nggak sih, kebanyakan orang sekarang telah terdoktrin dengan berbagai hal tapi nggak banyak yang sadar akan persoalan ini. Banyak yang berdalih kalau sebenarnya ‘kewaspadaan’ terhadap anggapan barusan itu adalah sesuatu yang lebay plus berlebihan. Padahal nyatannya mereka yang berdalih itulah yang sudah terlampau nyaman dengan hal doktrinasi ini. Bahayanya lagi, ketidakadaan kewaspadaan terhadap sesuatu ini bisa memicu kepasifan dari dalam diri, dan bisa juga jadi dampak buruk untuk persoalan lain yang lebih krusial seperti masalah hidup.

Sebagai contoh begini, kira-kira, ada nggak orang-orang yang berlabel punya power dibidang gosip online merasa jengah dengan pekerjaannya sendiri? Misalnya mereka tiba-tiba merasa kalau sebenarnya pekerjaan yang mereka lakukan itu benar-benar tidak bermanfaat sama sekali, nah kira-kira mereka bisa nggak merasakan hal kayak gitu? Jawabannya pasti nggak mungkin. Kalaupun iya, pasti rasanya sulit sekali. Karena persoalan seperti ini butuh waktu untuk menyadari dan memahaminya.

Alasannya kenapa? Simpel banget. Karena mereka terlampau nyaman dengan ‘kemasan’ gosip online yang begitu menyenangkan seperti eksistensi, uang dan pengetahuan soal ‘publik figur’ yang mendalam. Padahal kalau dipikirkan lebih dalam lagi, yang mereka lakukan justru merugikan sebagian pihak –yang umumnya adalah publik figur. Pelaku dan penggiat gosip online pasti merasa seru atau bahkan terlampau ‘kepo’ dengan apa yang sedang hangat di sosial media. Sehingga yang mereka miliki cuma seonggok informasi bodoh yang tidak ada manfaatnya yang berdampak buruk pada kehidupan si publik figur.

Mereka juga seolah menjadi expert untuk persoalan yang sebenarnya mengganggu ini. Ada yang berusaha meraup informasi sedemikian rupa sampai urusan pribadi dikesampingkan, ada juga yang langsung seketika berubah menjadi agen gosip online untuk mendapatkan foto ‘terbaru’ sampai mengorbankan harga diri dan waktunya, bahkan ada yang sampai hilang akal dengan menghakimi ‘publik figur’ secara fisik karena merasa emosi gosip online sudah meresap ke dalam jiwanya.

Kan absurb. Yang punya persoalan siapa, tapi yang sibuk dan kepusingan siapa.

Ditambah lagi, selain persoalan seperti gosip ini, orang-orang era milenial (khususnya di Indonesia) juga gampang banget terbawa sama segala sesuatu yang sedang heboh, atau yang biasa gua sebut sebagai viralisme. Ada yang viral sedikit, kebanyakan orang seolah harus ikutan terbawa dampak viral-nya. Apalagi kalau hal yang viral tersebut ‘dikemas’ secara bagus, keren dan lucu, maka tampaknya yang seperti ini dianggap asyik dan tidak bermasalah sama sekali. Melihat video viral lucu, lalu tertawa-tawa dan bahkan ikut terbawa arusnya, seakan menjadi hiburan yang nggak pernah lepas dari keseharian.

Selain itu, hal lainnya yang identik dari viral adalah “challenge”. Challenge ini mirip flu. Mudah banget menyebar dan menginfeksi setiap orang –terkecuali yang punya ‘proteksi’ diri kuat. Dari tahun ke tahun virus challenge ini semakin dikemas dengan kekerenan, eksistensi dan berbalut ‘having fun’. Di sisi lain, semakin ke sini, sebenarnya si challenge ini semakin aneh dan bodoh bentuknya. Tapi walaupun begitu, tetep aja, masih banyak juga yang nggak peduli untuk berpikiran ke arah sana dalam menyikapi ini. Contohnya, di tahun ini aja, terdapat challenge yang heboh dan mendunia yang sempat berhasil membuat orang-orang tampil goblok serta nggak tau malu di publik sosial media dengan tarian bodoh di samping mobil yang sedang berjalan (gua menamakannya dengan kukuruyuk challenge). Namun apa yang terjadi setelah itu? Challenge ini malah semakin tambah terkenal –meski dalam jangka waktu yang nggak lama.

Super duper aneh bin ajaib.

Hal ini pun sontak memperlihatkan seolah-olah cara berfikir orang-orang yang mengaku milenial ini terdoktrin oleh sesuatu yang tampak menyenangkan. Dan ternyata benar saja, “you are what you watch”, dikutip dari artikel IDN Times, seorang psikolog dan profesor asal Austria bernama Markus Appel pernah menguji sekelompok mahasiswa dengan berbagai topik. Sebelum tes dimulai, separuh siswa disuruh membaca cerita tentang pria konyol yang membuat keputusan buruk. Setelah membaca kisah tersebut, performa para siswa ini menjadi buruk dibanding kelompok siswa yang tidak membaca ceritanya.

Appel kemudian menyimpulkan bahwa hal ini dikarenakan oleh "media priming." yaitu efek residual akibat pengaruh media. Sehingga berakibat pada perubahan perilaku, pendapat, atau kecerdasan. Maka sama halnya dengan yang sudah gua katakan sebelumnya, mungkin memang tampak ‘dikemas’ lucu dan seru saat menonton video viral dan challenge dengan orang bodoh di dalamnya ini, tapi faktanya ternyata kita harus sadar kalau kebodohan yang mereka lakukan itu ternyata mudah menular.

That's so ridiculous.

***


Coba pikir deh, kita semua yang hidup di era digital sekarang seolah secara langsung  diarahkan (ter-direct) ke pusat perhatian yang sama, dan biasanya cenderung menjadi terlalu santai karena terbawa efek ‘kemasannya’ yang dianggap begitu tidak bermasalah. Pola pikir seperti inilah yang sebenarnya jadi persoalan terbesar dalam tulisan ini. Hidup di era yang semakin canggih seharusnya bisa membuat kita lebih berpikiran cerdas dan terbuka dalam melihat segala hal meski ‘dikemas’ sedemikian bagusnya, dan bukan malah asal enjoy untuk menikmatinya.

Padahal, yang seperti ini benar-benar punya efek buruk bagi respon kesadaran dan kepekaan kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan di dunia ini. Bahkan, kita juga bisa terancam terus-menerus termanipulasi oleh doktrin kenyamanan yang dibuat para elit penguasa sistem dunia ini supaya tetap berada di dalam pola pikir pasif. Nggak cuma itu, menurut Noam Chomsky di dalam bukunya yang berjudul How The World Works, manipulasi kenyamanan ini sangat efektif untuk melakukan propaganda dan indoktrinasi yang nantinya akan mencabut kesadaran orang-orang atas dasar hak dan sejarah hidup mereka sendiri.

Nah, selain itu juga, menurut Chomsky sistem propaganda ini bukan hanya tentang isu-isu yang ‘dikemas’ dalam berita, tetapi juga sistem ini dipresentasikan dalam bentuk hiburan di media –dan sosial media tentunya. Dan ternyata, hiburan ini ditampilkan dengan tujuan untuk mengalihkan para penonton atau pengonsumsinya dari kenyataan, dan membuat mereka lebih bodoh, acuh dan apatis. Intinya, kita sebagai orang era milenial, bisa terus-menerus terancam ditipu sama hal-hal yang selalu ‘dikemas’ dengan penuh kenyamanan ini kalau masih belum sadar dan belum mulai membuka pikiran lebih luas lagi.

Nah, sekarang paham kan kenapa harus lebih concern, sadar dan peka terhadap hal-hal di era milenial yang ‘dikemas bagus’ ini?

Sebenarnya, pepatah dari barat yang berbunyi “don’t judge a book by it’s cover” sekarang sudah menjadi dalih mainstream yang diketahui banyak orang. Dan kalimat metafora ini memang sedikit menunjukkan maksud yang ‘benar’ untuk beberapa persoalan, yang salah satunya adalah hal yang sering ‘dikemas bagus’ di era milenial. Arti atau maksud dari “don’t judge a book by it’s cover” ini sendiri adalah “janganlah menilai sesuatu hanya dengan melihat penampilan luar semata”. Itu berarti, pepatah ini mengarahkan kepada setiap orang untuk tidak mudah terjebak dengan ‘kemasan luar’ yang memanipulasi.

Jadi seharusnya setiap orang sudah paham dengan problematika ini.


“Terus, cara kita untuk paham dan sadar akan hal itu gimana dong?”

Jawabannya cuma satu, mulailah belajar untuk berpikiran terbuka supaya paham. Karena hanya dengan berpikiran terbukalah segala sesuatunya bisa disikapi dengan jelas. Apalagi, era sekarang adalah era di mana segala sesuatunya butuh kejelasan yang super jelas. Nah, kalau semakin banyak kita berpikiran terbuka, maka semakin besar juga kemungkinan kita mendapat kenyataan yang jelas. Malah nggak cuma itu, keterbukaan pikiran juga membuat kita memiliki cara berpikir yang matang dan baik. So, pastinya hal ini akan berdampak positif bagi kehidupan kita.

Kalau kembali menyoal hal yang ‘dikemas’ bagus, sebenarnya di sini gua bukan mau menggiring opini, karena gua hanya ingin membuat orang di era milenial (khususnya di Indonesia) paham dan sadar kalau segala kenyamanan yang kita dapatkan sekarang nggak sampai memanipulasi cara berpikir kita. Memang, nggak semua hal di era milenial mempunyai maksud yang gua jabarkan di tulisan ini. Tapi berdasarkan data plus fakta yang sempat gua jelaskan, situasinya lebih banyak yang merepresentasikan semua itu.

Yang jelas, sebagai manusia modern yang hidup di era digital, seharusnya setiap individu bisa mempunyai pola berpikir yang lebih luwes. Pola pikir yang dimiliki juga seharusnya dapat melahirkan pemahaman yang rasional. Sama halnya seperti kesan spesial yang gua dapatkan ketika masih duduk di Sekolah Dasar, sebuah pemahaman rasional harus menjadi poin utama dalam menyikapi apapun agar kita nggak menjadi orang yang terlihat bodoh karena nggak tau apa-apa. Bahkan faktanya, pemahaman rasional itu sendiri lahir dari keterbukaan pikiran.

Jadi, semua ini akan kembali pada diri pribadi masing-masing, apakah ingin lebih membuka pikiran dalam menyikapi segala hal agar memiliki pemahaman yang rasional, atau malah ingin tetap berada dalam doktrin manipulasi yang 'dikemas bagus' dalam bentuk kenyamanan.




“Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan.”

-Imam Syafi’i-

You Might Also Like

3 komentar

Flickr Images