Reuni 212: Gairah Persatuan, Semangat Perjuangan dan Menjalin Ukhuwah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT , atas berkat rahmat dan kuasa-Nya yang telah memberikan gua kesehatan, kenyamanan hidup ...



Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, atas berkat rahmat dan kuasa-Nya yang telah memberikan gua kesehatan, kenyamanan hidup dan kesempatan bernafas hingga tulisan ini keluar. Kalau bukan rahmat dan kuasa-Nya, mungkin gua nggak akan bisa ngetik tulisan ini sampai kelar. Di sisi lain, gua juga sangat bersyukur sekali karena di tahun ini Allah SWT telah memberikan gua kesempatan meraih hidayah yang cukup banyak untuk membuat gua berjalan kembali ke ‘trek’ yang seharusnya. Bahkan nggak cuman hidayah, Allah SWT juga sangat berperan besar dalam membenahi cara berpikir gua yang sebelumnya ‘sengklek dan bongak (baca: bengkok), menjadi lebih lurus dan lebih meluas. Kalau kata orang-orang sekarang sih biasa disebut dengan ‘Hijrah’.

Entah apalah sebutannya, itu semua nggak penting. Yang terpenting adalah momen dan efek yang gua rasakan. Yah begitu indah sekali. Pokoknya sangat sukar untuk dideskripsikan dengan kata-kata. Dan kalau ditanyakan ‘apa ada yang berubah?’, pasti jelas ada perubahan. Tapi, perubahan yang dirasakan itu bukan berupa perubahan fisik. Perubahan yang dirasakan lebih ke perubahan sikap, habbit dan cara berpikir, persis seperti yang sempat gua singgung di awal tadi. Nah selain itu, perubahan yang gua dapati juga termasuk perubahan dari cara gua menyikapi momen persatuan umat di Reuni 212, yang baru-baru ini sempat jadi trending di ranah publik maupun sosial media.



Dan kebetulan, di akhir tahun 2018 ini –tepatnya tanggal 2 Desember 2018– gua telah diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk bisa mengikuti acara yang gua klaim sangat bersejarah itu. Padahal sebelumnya gua punya pemikiran yang begitu miring terhadap acara Reuni 212 ini karena terbawa framing isu. Namun sekarang gua justru sangat mendukung penuh, dan malah mau menjadi bagian permanen dari momen Reuni 212 ini di tahun-tahun berkutnya. Perubahan haluan dan cara pandang inilah yang juga gua anggap sebagai hadiah terbaik yang diberikan Allah SWT pada gua di tahun ini.

Kenapa gua bisa bilang begitu?




Karena, nggak ada lagi yang lebih berharga dari merasakan persatuan seluruh elemen umat. Semua orang juga mungkin berharap momen persatuan seperti itu bisa muncul di kemudian hari, dan momen Reuni 212 seakan-akan memang datang untuk menjawab semua harapan itu. Bahkan, secara langsung momen ini menjadi ‘wadah luas’ yang berhasil menaungi rasa persatuan yang selalu didamba-dambakan semua orang. Jadi jangan heran, orang-orang yang nggak tau makna dan substansinya banyak yang ‘kepanasan sambil ngomel-ngomel’ melihat momen 212 ini. Padahal kan cuma orang ‘kurang waras’ aja yang benci sama persatuan, ya nggak? *uhuk-uhuk*

Makna Murni Reuni 212


Tepat dua minggu sebelum acara Reuni 212, gua baru mendapat informasi ternyata di tahun ini acara reuni masif tersebut akan digelar lagi di monas. Wah, antusias sekali gua saat tau kabar itu. Gua pun langsung menghubungi teman seperjuangan jihad gua (baca: pejuang iman) untuk mengikuti acara Reuni 212 ini. Saking antusiasnya, segala atribut yang bersangkutan tampaknya harus dibeli untuk dibawa ke acara itu. Dari atribut bendera tauhid, topi tauhid sampai ikat kepala tauhid, menjadi kebutuhan ‘wajib’ yang harus dibeli dan dibawa. Tapi, pada akhirnya gua dan teman gua hanya memprioritaskan membeli dan membawa bendera tauhid, dikarenakan gairahnya lebih terasa setelah panji Rasulullah ini sempat dihinakan dengan dibakar oleh oknum-oknum caper yang ngebet viral di internet.


Seminggu berikutnya, gua kemudian memesan tiket keberangkatan menggunakan kereta dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Gambir. Setelah semua persiapannya beres, tepat pada Sabtu malam, gua dan teman gua pun langsung berangkat menuju Jakarta. Kami berangkat pukul 20.50, dan sampai di lokasi pukul 00.30. Percaya nggak percaya, ternyata banyak rombongan peserta Reuni 212 yang satu kereta dengan kami. Wah, antusiasmenya besar sekali, nggak seperti yang gua pikirkan sebelumnya.

Sesampainya gua di Stasiun Gambir, gua dan teman gua langsung mengganti pakaian dengan ‘dresscode’ yang umum dipakai di acara Reuni 212, yaitu ‘dresscode’ berwarna putih. Gokil! Gairah persatuaan seakan keluar dengan sendirinya. Gairah ini juga melahirkan hasrat dan semangat pembelaan terhadap bendera tauhid, sebagai bentuk protes atas penghinaan yang telah dilakukan oknum-oknum caper tadi. Entahlah, apakah ini semua sugesti atau bukan, tapi yang jelas gairah tadi sudah terasa sangat menggelora. Mungkin agak lebay kalau dibayangkan, tapi mau bagaimana lagi, perasaan yang gua rasakan ini memang sulit untuk dideskripsikan dengan rangkaian kata-kata.

Setelah gua keluar dari Stasiun Gambir, gua langsung bergabung dengan peserta Reuni 212 yang lain yang ada di sana. MasyaAllah, bener-bener nggak gua sangka, aura dan kondisinya sejuk banget. Gua melihat banyak keunikan di sana. Dan yang bikin kaget, ternyata nggak cuma orang dewasa aja yang ikut acara Reuni 212 ini, banyak juga anak kecil yang lari-lari dengan semangat kegirangan menyambut acara ini, padahal waktu itu jam masih menunjukkan pukul 01.00 pagi. Gua juga kemudian banyak bercengkrama dan mendengar percakapan orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia yang ikut ke sana. Ada yang dari Sukabumi, Tasikmalaya, Bekasi, Ciamis, Solo, Padang dan masih banyak lagi.


“Eh mas, dari mana ya?” terdengar seorang Nenek bertanya kepada Anak laki-laki yang duduk di sebelah gua.

“Kita dari Sukabumi nek hehe, Nenek dari mana ya?” tanya Anak laki-laki itu.

“Saya dari Jakarta mas, deket sini, ini bareng sama Anak saya juga, naik apa mas kesini?” tanya si Nenek.

“Oh deket ya nek, kita jalan kaki bu dari Sukabumi, baru aja nyampe tadi jam setengah satu hehe,” jawab si Anak lak-laki itu, yang sekaligus membuat percakapan diam sejenak selama 30 detik.

“Wah nggak capek mas? Kagum saya, sayangnya saya udah nenek-nenek, coba saya masih muda, mungkin saya bisa kayak gitu,” guyon si Nenek. 

MasyaAllah, gua hanya terkagum dalam hati. Meski mereka berbeda-beda daerah, tapi euforia persatuannya kental terasa. Gua dan teman gua juga saling ikut berinteraksi dengan mereka, dan kami mulai membicarakan unek-unek soal ketidakadilan di negeri ini. Kami membicarakan soal kriminalisasi ulama, media yang berat sebelah, framing isu, kebijakan cacat, fitnah-fitnah kepada umat Islam berupa radikalisme, banyaknya pekerja asing dari Cina dan bentuk ketidakadilan lainnya yang telah terjadi di negeri ini. Selain itu, mereka juga berbicara tentang proses keberangkatannya ke acara ini (termasuk salah satunya yang sempat gua kutip barusan). Gua juga bahkan mendapat informasi dari mereka kalau ada yang lebih bikin terharu ketimbang perjuangan jalan kaki dari Sukabumi. Kata mereka, nggak sedikit orang-orang penyandang disabilitas (salah satunya tunanetra) ikut serta dalam acara Reuni 212 ini, dan mereka berjalan dengan bergandengan ke pundak masing-masing selama perjalanan menuju ke lokasi. Gila! Sungguh takjub sekali gua melihat semua ini.


(Sumber: Hidayatullah)

Selain itu juga, ada beberapa penyandang disabilitas lain yang ikut meramaikan aksi persatuan umat ini.


(Sumber: Twitter)


(Sumber: Republika)

Jadi, nggak perlu mengorek lebih dalam pun acara Reuni 212 ini sudah melahirkan makna murni. Makna murni dari acara ini dengan sendirinya memaparkan perjuangan umat, yang notabene lahir dari kegelisahan atas rasa ketidakadilan yang ada di negeri ini. Makna murni yang tercipta di acara ini memunculkan Gairah Persatuan, Semangat Perjuangan dan juga Menjalin Ukhuwah. Sama-sama berharap dan memperjuangkan keadilan. Alih-alih acara Reuni 212 ini dipeributan publik karena dikaitkan dengan gerakan politik, akan tetapi, kualitas makna yang terkandung dari acara ini sendiri justru semakin membuktikan kalau asumsi seperti itu salah telak, dan semakin menunjukkan kalau gairah Reuni 212 ini telah melekat erat dengan sendirinya di dada umat yang ikut serta di dalamnya. Dan perlu diingat, bukan cuman umat Islam loh yang merasakan ini, tapi juga semua elemen umat di Indonesia, termasuk non-Islam.


(Sumber: Twitter)


(Sumber: Twitter)


Mereka secara otomatis merasakan gairah yang sama, semangat yang sama dan tujuan yang sama, yaitu merasakan persatuan. Umat sudah muak dan jengah dengan ketidakadilan di negeri ini, mereka ingin bersatu untuk menyuarakan kegelisahannya itu ke publik. Maka Reuni 212 inilah yang mereka manfaatkan untuk merealisasikan semua itu dengan membentuk persatuan dari seluruh elemen umat. Jadi, kalau hanya memandang semua maksud Reuni 212 ini dari orientasi masing-masing, pasti akan susah menebak seperti apa rasa dan makna yang terkadung badan di dalam acara ini. Tapi kalau mau berusaha untuk memandang pakai nalar akal sehat dan gairah yang sama, insyaAllah makna murni itu bisa dirasakan dengan sendirinya.

Menjawab Stigma Negatif Terhadap Reuni 212


“Apaan sih ini? Demo-demo radikal, mana toleransinya?”

Begitulah kurang lebih respon gua saat menyikapi acara 212 pada 2016, tepat ketika semua hal ini bermula. Ya, 212 muncul sebagai demo dan aksi yang menginginkan keadilan dari pemerintah untuk menghukum sang penista Al-Qur’an. Jelas banget kok, aksi 212 yang pertama kali itu adalah bentuk aksi damai yang rapih dan terstruktur. Rumput nggak ada yang rusak, infastruktur aman, suasananya sejuk dan tentunya berakhir dengan damai. Situasinya kurang lebih sama seperti yang digelar di tahun ini, letak bedanya cuma di jumlah pesertanya aja –di tahun 2018 ini jumlahnya lebih banyak. Tapi karena waktu itu gua hanya tau dari isu-isu yang di framing (gua juga nggak cari tau lebih lanjut), maka otak gua nggak bisa ‘damai’ melihat aksi 212 ini. Gua hanya bisa nyinyir-nyinyir sendiri, menganggap bahwa ini radikal dan nggak toleran, padahal makna serta substansi dari 212 aja nggak gua ketahui (plus waktu itu gua nggak ikut ke sana).

Nah, setelah tau semua makna dan substansi dari 212 ini, gua akhirnya tersadar, dan mulai berinstrospeksi dengan mengakui bahwa otak gua sangat ‘sengklek’ waktu itu. Jadi, sama seperti halnya respon-respon negatif yang ditunjukkan oleh orang-orang sekarang yang nggak tau ‘apa sih sebenarnya makna 212 itu?’. Momen dari 212 ini memang ada di 2016, namun justru dari situlah aksi 212 ini mengalami perubahan. Kalau kata Rocky Gerung sih, dengan sendirinya aksi 212 ini berubah dari momen menjadi monumen. Wajar kalau semua orang ingin kembali bereuni di 212 ini. Karena tujuannya tetap sama kok, yaitu menuntut keadilan. Maka otomatis monumen 212 ini menjadi salah satu sejarah besar yang ada di Indonesia. Hanya saja, nggak banyak orang yang berpandang ke arah sana karena telah terpengaruh oleh framing isu, jadi makna ini masih banyak di pandang sebelah mata. Butuh sebuah pemikiran yang meluas ke berbagai sisi untuk menyikapi hal ini. Nggak bisa kalau hanya berpikir dari satu sisi.


Makannya, banyak orang yang sampai detik ini masih nyinyir sama Reuni 212. Dan bentuk kalimat nyinyirnya persis kok sama apa yang pernah gua katakan dulu. Menurut gua, mereka yang nyinyir itu sebenarnya cuma ada dua kategori. Yang pertama itu orang yang nggak tau apa-apa tapi terkena framing isu, dan yang kedua adalah orang yang merasa kekuasannya terancam (sumber ketidakadilan). Karena pada hakikatnya, pandangan seseorang itu tergantung orientasi, yang nantinya bisa langsung ditebak ke mana arah pikirannya. Kalau orientasinya kekuasaan, harta dan kesenangan, mau ngeliat apa aja pasti cuma bisa mengandalkan asumsi dan logika framing. Tapi kalau orientasinya persatuan, ngeliatnya pakai nalar akal sehat dengan menyikapi sesuatu hal secara luas. Sama halnya kayak ngeliat aksi Reuni 212 ini. Secara nalar akal sehat, yg ikut disitu ada kurang lebih 13 juta umat, dan yg ikut ke sana melaksanakan kegiatan dengan rapih, bersih, aman damai dan tenteram. Isi acaranya juga rata-rata berdo’a, berdzikir dan orasi meminta keadilan. Lah masa iya sih, ada yg menyimpulkan isi aksinya radikal, nggak toleran dan kampanye terselubung? Padahal yang bilang begitu nggak ikut ke lokasi.

Coba deh gunakan nalar akal sehat. Kalau benar acara Reuni 212 ini adalah acara yang radikal, nggak damai dan nggak toleran, lantas kenapa banyak anak kecil yang dibawa orang tuanya datang ke acara ini? Kan logikanya begini, orang yang mau datang ke konser band metal atau EDM aja pasti nggak akan bawa anak kecil, nah gimana kalau dibawa ke acara yang isinya radikal, nggak damai dan nggak toleran? Coba pikir deh, kalau banyak anak kecil yang ikut dibawa ke sebuah acara yang jumlah orangnya masif seperti acara Reuni 212 ini, itu berarti isi acaranya ‘masuk akal’ untuk diikuti oleh semua kalangan kan? Hayo, masa sih masih punya anggapan negatif terhadap Reuni 212? Jadi sekali lagi, tolong gunakan nalar akal sehatnya yah.


(Sumber: Twitter)

Padahal, gua yakin orang yang nyinyir sama acara seperti Reuni 212 ini nggak paham ‘apa sih sebenarnya radikal dan intoleran itu?’. Mereka semua hanya membentur-benturkan tanpa mengerti makna dan substansi yang sebenarnya. Ditambah lagi, framing isunya begitu masif disebarluaskan oleh pihak-pihak yang nggak bertanggung jawab. Bahkan yang lebih parahnya, media-media mainstream di Indonesia juga begitu sangat keliatan ‘berpihak ke siapa’ setelah acara sebesar Reuni 212 ini nggak diliput sama sekali (kecuali media dari TV One). Media-media yang seharusnya netral ini malah berat sebelah. Jadi wajar kalau semua persoalan ini telah membuat sebagian besar orang berpandangan kurang baik sama Reuni 212. Maka solusinya cuma satu, untuk menyikapi segala hal di periode-periode pelik seperti tahun politik ini, tolong gunakan nalar akal sehat saat melihat sebuah isu yang muncul ke publik.

***


Manusia itu diciptakan dengan dua hal krusial, yang kalau dikombinasikan bakal menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar ‘makna’. Tapi, kalau hanya digunakan salah satunya atau berat sebelah, manusia justru bisa kehilangan ‘makna’. Dua hal krusial itu adalah Otak dan Hati. Jika terlalu menggunakan Otak untuk segala hal, Hati bisa terkunci dan membatu. Dan jika terlalu menggunakan Hati untuk segala segala hal, Otak bisa membeku dan rawan ditipu. Maka dari itu, nggak ada cara lain selain mengkombinasikan keduanya dalam menyikapi segala sesuatu. Pun sama halnya dengan menyikapi Reuni 212 ini. Kalau merasa diri belum cukup ilmu, maka seharusnya lebih banyak belajar untuk mencari tau. Dan kalau merasa diri belum bisa menerima sebuah perbedaan, maka seharusnya lebih banyak belajar untuk berlapang dada.



“Jangan terlampau benci kepada sesuatu yang belum dimengerti. Kalau memang belum mau mengerti, setidaknya cobalah untuk kenali.”

­-Penulis-

You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images