Teori Gak Sih 02: Buah dari Otak Sengklek

Di suatu siang yang mendung, tepatnya 12 tahun yang lalu (saat usia gua 10 tahun), ada satu cerita unik yang pernah menghiasi masa kanak...


Di suatu siang yang mendung, tepatnya 12 tahun yang lalu (saat usia gua 10 tahun), ada satu cerita unik yang pernah menghiasi masa kanak-kanak gua. Kalau nggak salah ingat, cerita itu terjadi pada bulan Ramadhan, dan semua orang tau, biasanya di bulan suci ini anak-anak punya tantangan besar untuk belajar puasa. Tapi, karena gua tinggal di sebuah perkampungan (cari di google maps; Gerem Village), tantangan yang gua dapatkan bukan hanya puasa. Tantangannya, sangat jauh lebih besar dari itu.

Ditambah lagi, notabene anak-anak yang tinggal di kampung kerap punya kebiasaan bermain yang khas, dan teknik “ngebolang” (bocah petualang) yang lebih ekstrim dari anak-anak pada umumnya. Jadi, gua benar-benar dihadapkan dengan dua ujian yang sulit semacam itu. Di samping harus menahan haus dan lapar, gua pun harus menahan nafsu besar untuk ngelakuin hal-hal aneh saat main.

Tapi, itu hanyalah sebuah teori yang bisa gua simpulkan di tulisan ini. Karena pada kenyataanya, teori yang gua tulis di atas sama sekali nggak berlaku ketika gua masih menjadi bocah kampung. Boro-boro mengenal teori, namanya juga anak-anak, kelakuan dan sikapnya rata-rata ditampilkan secara spontan tanpa pikir panjang. Begitu pun dengan gua, yang pernah betul-betul mengalami hal yang lumayan mengerikan karena nggak bisa menahan diri saat main. Intinya, semua ini adalah buah dari ‘otak yang sengklek’.

Jadi singkat cerita, waktu itu gua sedang merasa bereuforia ketika bermain dengan satu teman gua di kampung. Euforia yang gua rasakan itu timbul karena teman gua –sebut saja Kecambah– ingin  mengajak gua ke salah satu area di perkampungan untuk melihat pemandangan kebun buah Timun Suri yang sedang musim panen. Kata dia, pemandangannya bisa menghilangkan rasa dahaga ‘haus dan lapar’ yang dirasakan karena efek puasa. Bayangin, gimana gua nggak tertarik, pikiran gua yang masih bocah dikasih premis-premis doktrin semacam itu. Intinya, setelah ajakan si Kecambah ini, gua nggak pikir panjang lagi untuk langsung bilang ‘hayuk’.

Setibanya di area perkebunan, gua pun langsung merasa tenang dan terkagum saat melihat pemandangan di area perkebunan itu. Dihadapan gua terpampang jelas lahan yang penuh dengan buah timun suri berwarna kuning matang yang siap panen. Ditambah lagi, gua juga mencium aroma khas buah timun suri matang dengan perpaduan udara sejuk mendung yang memang sedang menyelimuti hari itu. Memang benar si Kecambah, seolah-olah apa yang gua lihat ini adalah surga dunia. Rasanya indah sekali.

Tapi... Rasa tenang dan kagum gua ini akhirnya nggak bertahan lama. Semuanya mulai terganggu ketika si Kecambah tiba-tiba teriak memanggil dan menyuruh gua untuk menghampirinya. Dia berteriak sambil mengklaim bahwa dia menemukan sebuah ‘harta karun’. Yang namanya anak-anak, kalau mendengar kata ‘harta karun’ pasti ditafsirkan sebagai sesuatu yang berharga, dan kebanyakan anak-anak pasti senang dengan itu.

Yah apa boleh buat, gua terpaksa harus menghampiri si Kecambah. Tapi, dengan seketika gua justru merasa dikejutkan melihat apa yang dia temukan. Wah, si Kecambah benar-benar menemukan ‘harta karun’. Dia berhasil menemukan tiga buah timun suri matang yang berada di area pojok perkebunan dan siap untuk dipetik. Dengan melihat ‘harta karun’ ini, si Kecambah pun lalu mulai menunjukkan gelagat ‘jahat’ dengan sebuah isyarat yang memaksa gua harus mengikuti apa kemauannya. Ya, intinya dia berniat untuk mencuri tiga buah timun suri itu.

Si Kecambah pun mulai berbisik sambil menunjukkan ekspresi muka mirip gambar ikan di kaleng sarden. Dia bilang, “Oi, jukut bae keh buahe! (Oi, ambil aja yuk buahnya!).”

Weits, tapi nggak semudah itu gua menuruti apa keinginannya. Gua langsung menolak ajakannya sambil mengatakan, “Asal bae sire, aje dijukut, engko keweroan karo sing due (Asal aja lo, jangan diambil, nanti ketauan sama yang punya).”

Si Kecambah menjawab, “Wis lah orepape, wong lake sing deleng, jukut bae yuklah! (Udahlah gapapa, orang nggak ada yang liat, ambil aja yuk!).”

Gua sedikit terpengaruh dan mulai bertanya, “Hmm... Dose ore? (Hmm... Dosa gak?).”

Si Kecambah kemudian mulai ngeles sambil berkata, “Ore, ngejukut telu doang mah ore dose, dose iku lamun ngejukut sepuluh (Nggak, ngambil tiga mah nggak dosa, dosa itu kalau ngambil sepuluh).”

Semakin ditentang, si Kecambah ternyata semakin mengelak dengan fatwanya. Dasar, Kecambah. Maka dengan entengnya, kami berdua pun mulai beraksi mengambil tiga buah timun suri itu.

Namun yang jadi persoalan adalah, gua dan si kecambah seketika lupa kalau waktu itu adalah waktu panen buah timun suri.  Efek euforia penemuan ‘harta karun’ ini juga membuat kami lupa kalau di sekeliling kebun itu pasti ada banyak petani yang sedang memetik dan mengumpulkan buah timun suri hasil panen. Jadi, walaupun buah yang dicuri letaknya masih nggak terjangkau petani, tapi seenggaknya mereka pasti mengawasi setiap sisi dari area perkebunannya.

Maka dari sinilah semua hal mengerikan itu dimulai. Nggak lama setelah mencoba memetik satu buah timun suri, tiba-tiba gua dan si Kecambah mendengar sebuah teriakan yang menggema dari jauh. Suara itu kemudian perlahan semakin terdengar jelas dan mulai mendekat ke arah kami.

“WEY SIRE AJE DIJUKUT IKU BUAHE! TAK SERIMPUNG SIRE!”

(Catatan: ‘Serimpung’ dalam bahasa Gerem Village berarti melemparkan cerurit ke arah kaki)

Suara teriakan ini benar-benar mengagetkan dan bikin shock ringan. Persis kayak bunyi “plung” di tengah perairan sungai yang sunyi senyap.

Tiba-tiba, terlihatlah sesosok pria kekar berlari sambil memegang cerurit. Jelas, pria itu adalah petani area perkebunan, dan dia ingin menghampiri gua dan si Kecambah. Kami berdua pun secara spontan mulai tersadar kalau rencana pencurian tiga buah timun suri tadi ternyata telah diketahui oleh pria kekar tersebut. Dengan respon cepat, kami berdua mulai berlari sepenuh tenaga meninggalkan area perkebunan itu dengan satu buah timun suri yang sudah kami petik. Pria kekar tadi tetap berlari mengejar sambil mengangkat cerurit yang ada di tangannya, tapi... Dia tertinggal jauh di belakang kami berdua. Pada akhirnya, gua dan si Kecambah berhasil kabur dari area perkebunan itu sambil tertawa, dengan tambahan catatan mengerikan bahwa kaki kami berdua nyaris terkena lemparan cerurit yang dilempar oleh pria kekar tersebut. Tampaknya ini memang adalah azab yang pas untuk dua orang bocah yang berniat mencuri buah timun suri saat bulan Ramadhan. Mengerikan sekali.

***

Maka dari sinilah gua dapat berkesimpulan bahwa ‘otak sengklek’ itu memang menciptakan masalah. Dari cerita unik masa lalu barusan, gua juga menemukan teori bahwa ‘otak sengklek’ ini timbul dari konsep berpikir yang kurang terstruktur. Bayangin aja, namanya juga anak-anak, di usia segini mereka masih belum punya yang namanya konsep berpikir. Jangankan konsep berpikir, paham dengan apa yang dilakukan saja masih kebingungan. Yang ada di otak anak-anak itu hanyalah melakukan kesenangan semata. Pokoknya, sangat-sangat unfaedah.

Tapi, hal semacam itu masih dianggap wajar. Namanya juga masih anak-anak. Hanya saja, kalau berkaca pada dampak yang terjadi dari cerita barusan, muncul sebuah pertanyaan; “apa jadinya kalau buah dari ‘otak sengklek’ itu masih sering dialami oleh orang-orang yang sudah bukan dikategorikan sebagai anak-anak?” Nah, ini baru nggak bisa diwajarkan, dan menurut gua, hal semacam ini justru bisa menjadi sumber utama sebuah masalah kalau nggak mulai disadari.

Sebenarnya, cerita masa lalu gua barusan hanyalah salah satu contoh kasus soal gambaran buah ‘otak sengklek’ yang datang dari pengalaman gua pribadi. Cerita ini, bagi gua, adalah sebuah cerita yang bisa menjadi pelajaran untuk mengetahui betapa bahayanya punya ‘otak sengklek’. Oleh karena itu, gua akan sedikit mem-breakdown seperti apa sih sebenarnya buah dari ‘otak sengklek’ itu. Di tulisan ini, gua hanya akan membagi buah dari ‘otak sengklek’ menjadi empat hal.

Terlalu Banyak Pikir Pendek

Yang pertama adalah terlalu banyak pikir pendek. Pikir pendek sebenarnya punya porsi dan ukurannya tersendiri. Pikir pendek ini punya fungsi untuk memecahkan masalah yang terjadi secara spontan. Contohnya, ketika mengalami bocor ban saat sedang mengendarai motor di jalan, pikir pendek akan dengan spontan memberikan sebuah solusi untuk “mencari bengkel tambal ban atau bengkel motor”. Di situasi seperti itu, pikir pendek nggak mungkin memberikan solusi untuk mengarahkan sang pengendara motor pergi ke pabrik motor supaya mengganti motornya dengan yang baru. Solusi seperti ini bisa saja muncul kalau memang sang pengendara motor sering mengkonsumsi biji timun.

Tapi, terlalu banyak pikir pendek, justru menciptakan masalah. Terlalu banyak pikir pendek juga adalah penyebab otak menjadi semakin ‘sengklek’. Karena nggak semua hal bisa diselesaikan dengan cara yang praktis dan pragmatis. Diperlukan cara berpikir panjang untuk ditempatkan pada porsi masalah yang memang nggak bisa diselesaikan dengan pola pikir pendek. Hal ini juga berguna untuk membuat orang punya pikiran terbuka dalam menyikapi segala sesuatu. Kalau nggak, maka yang terjadi adalah sudut pandang berpikir menjadi sempit, seperti halnya gua dan si Kecambah yang sama sekali nggak memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi setelah mencuri buah timun suri.

Cara menghindari pola pikir pendek semacam itu bisa dipelajari lewat pengalaman, literatur atau sebuah konsep berpikir dari para tokoh terkemuka. Gua sendiri belajar dari konsep berpikir Rasulullah SAW ketika melakukan perjanjian Hudaibiyah dengan orang Quraisy. Saat itu, perjanjian yang dibuat dinilai “berat sebelah” dan merugikan pihak Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Salah satu sahabat Rasulullah SAW, Umar bin Khattab, bahkan sempat sangat kesal dengan isi perjanjiannya. Namun, karena Rasulullah SAW memiliki konsep berpikir yang berlandaskan wahyu (petunjuk Allah), maka beliau justru punya pandangan yang jauh lebih visioner dari para sahabatnya. Rasulullah SAW pun kemudian menyakinkan para sahabatnya dengan penjelasan bahwasannya isi perjanjian itu adalah awal dari kemenangan. Ternyata, keyakinan Rasulullah SAW itu benar adanya, dan terbukti, beliau beserta para sahabatnya berhasil memanfaatkan isi perjanjian Hudaibiyah untuk membebaskan kota Mekkah dari tangan orang Quraisy.

Kisah dan penjelasan lengkapnya bisa dilihat di video ini:


Mudah Bereuforia

Terlampau senang tanpa batas itu adalah sesuatu yang bermasalah. Apalagi, ketika sudah mulai merasa mudah untuk bereuforia terhadap segala hal. Ini lebih bahaya lagi. Biasanya hal semacam itu akan menciptakan sikap yang fanatis, dan merasa ogah ­ketika hal yang disukainnya mulai terusik. Sama seperti gua yang merasa bereuforia dengan pemandangan kebun buah timun suri, di mana seolah euforia yang dirasakan adalah sesuatu yang nggak boleh diganggu. Apapun yang bertentangan dengan sisi kesenangan yang sedang dirasakan, harus segera dihilangkan. Oleh karena itu, wajar mengapa gua merespon si Kecambah dengan sedikit kesal ketika dia mulai mengganggu rasa euforia yang gua rasakan saat melihat pemandangan kebun buah timun suri.

Hal semacam ini punya akibat yang lumayan fatal. Karena, respon yang ditimbulkan dari si “penikmat euforia” akan membawanya berada dalam sikap yang pasif akibat merasa ogah untuk diusik. Seperti orang yang mabuk, saking terlampau “nyaman”, respon seperti itu menyebabkan si “penikmat euforia” nggak peduli sama hal lain selain hal yang bersangkut paut dengan rasa euforianya. Oleh karena itu, si “penikmat euforia” bisa dengan mudah untuk terdoktrin dengan segala hal yang sedang disenanginya. Karena sejatinya, sikap pasif yang ditimbulkan tadi adalah sebuah jalan yang memudahkan seseorang untuk terdoktrin oleh hal-hal yang dianggapnya “nyaman”.

Penjabaran barusan bukan lahir dari argumentasi gua semata. Itu semua gua kutip dan gua pelajari dari pakar linguistik dan kritikus asal Amerika, Noam Chomsky, yang pernah menulis soal propaganda, indoktrinasi dan sifat pasif. Di dalam bukunya yang berjudul “How The World Works”, Chomsky mengatakan bahwa “Sistem propaganda bukan hanya tentang bagaimana isu-isu dibingkai dalam berita, tetapi juga bagaimana mereka dipresentasikan dalam program hiburan. Propaganda hiburan adalah area luas dari media yang sebenarnya ditampilkan untuk mengalihkan penonton dan membuat mereka menjadi lebih bodoh dan pasif.

Mungkin agak sedikit kurang nyambung dengan apa yang gua jabarkan sebelumnya, tapi sebenarnya intisari dari perkataan Chomsky ini adalah, “hiburan bisa membuat orang menjadi lebih bodoh dan pasif”. Ini semua bisa terjadi karena hiburan selalu dikemas sedemikian rupa untuk membuat orang terlampau “nyaman”. Nah seringnya, orang yang mudah merasa bereuforia sangat dekat dengan hal-hal semacam itu. Maka, dengan fakta-fakta tersebut, wajar bukan kalau sikap mudah bereuforia ini merupakan salah satu buah dari “otak sengklek”?

Coba deh mulai introspeksi dan dipikirin sendiri...

Taqlid

Menurut Ibnu Khaldun di dalam bukunya yang terkenal yaitu “Muqaddimah”, Taqlid artinya adalah mengambil segala sesuatu tanpa alasan dan sumber yang jelas. Secara singkat; buta terhadap informasi. Taqlid itu sendiri lahir dari ketidaktauan dan ketidakmautauan akan sesuatu. Persis seperti apa yang gua lakukan ketika gua meng-iya-kan fatwa si Kecambah yang mengatakan bahwa mencuri tiga buah timun suri itu nggak berdosa karena menurutnya yang berdosa itu adalah mencuri 10 buah timun suri. Tanpa berlandaskan apapun, gua spontan percaya dengan fatwanya. Padahal, fatwanya itu benar-benar menciptakan masalah...

Ibnu Khaldun juga menjelaskan kalau Taqlid kerap menarik diri dari kepercayaan untuk mengikuti tradisi. Misalnya begini... Masih ingat nggak sama pesan berantai zaman BBM yang ditiap ujung pesannya bertuliskan; “Jangan berhenti di kamu, sebarkan pesan ini! Atau bulu ketek kamu nggak tumbuh lagi!” Kalau masih ingat, berarti kita sudah tua. Tapi, sebenarnya bukan itu kesimpulannya. Pesan ini mengajarkan kepada kita semua, bahwa betapa pentingnya pengetahuan dan literasi agar kita nggak menjadi Taqlid. Karena, biasanya pesan ini sering menciptakan tradisi sendiri kepada si penerima untuk terpaksa mengirimkan pesan berantai itu tanpa terlebih dulu mengetahui isi pesannya benar atau nggak. Tradisi ini muncul dari ketakutan akibat bentuk kalimat yang ada disetiap akhir pesan berantai tersebut.

Maka, untuk terhindar dari sikap Taqlid ini, perlu usaha yang lumayan keras dengan niat dan tekad. Karena, Taqlid akan hilang dari diri kita kalau kita sudah mulai membuka diri untuk menambah pengetahuan dan literasi dengan membaca (terutama membaca buku). Membaca itu adalah pintu menuju keterbukaan pikiran, yang mengikis ketidaktauan dan ketidakmautauan yang ada di dalam diri kita. Sehingga, hidup kita nantinya akan lebih cerah dan terarah. Ibnu Khaldun bahkan bilang, “pengetahuan dan literasi dapat menjernihkan dan memperbaiki lembaran-lembaran kebenaran.”

Candu Dengan Canda

Yang terakhir ini sering tidak terlalu dianggap, tapi sebenarnya, dampaknya sangat serius kalau nggak mulai disadari. Cobalah berkaca saja dengan fakta yang ada, terlalu candu dengan canda itu pasti menumbuhkan sikap yang kurang serius. Malah seringnya, candu dengan canda ini menafikan hal yang serius dengan balutan berupa lawakan. Seolah-olah, dunia ini hanya sebatas candaan saja, dan seolah-olah, nggak ada hal lain yang lebih indah dari respon tertawa. Padahal kenyataannya, canda itu ada porsinya. Sikap seperti ini tergambar jelas muncul pada diri gua dan si Kecambah ketika berhasil kabur dari kebun timun suri. Meskipun kaki kami berdua nyaris putus terkena lemparang cerurit, tapi kami berdua tetap merasa asyik sembari tertawa-tawa ketika menyikapinya. Bahkan, kami berdua mulai menghiraukan hal apapun, termasuk hal pembelajaran dari hasil kelakuan kami itu. Yah... Boro-boro mengambil pembelajaran, menyesal saja sepertinya patut dipertanyakan.

Sebenarnya, membalut setiap hal dengan balutan canda atau lawakan itu memang “kelihatan asyik”. Tapi, “kelihatan asyik” ini nggak punya parameter yang absolut. Setiap orang punya pandangan berbeda mengenai hal itu. Akibatnya, “kelihatan asyik” di mata setiap orang nggak akan sama. Bisa jadi, “kelihatan asyik” di mata kita, justru ngeselin di depan orang lain, dan begitu juga sebaliknya. Terlebih lagi, manusia itu, menurut Noam Chomsky, punya sifat dasar default yang kompleks dalam bersikap dan berperilaku. Orang waras pasti tau kalau hal buruk yang terjadi pada diri manusia itu kebanyakan diakibatkan karena kesalahan mereka sendiri. Oleh karenanya, dengan sifat dasar default yang kompleks tadi, manusia sejatinya punya sebuah respon yang sudah sesuai dengan kejadian yang mereka alami. Maka, bodoh rasanya kalau setiap hal yang kita alami (termasuk hal buruk) harus direspon hanya dengan sebuah candaan atau lawakan.

Jadi, bukan tidak boleh untuk bercanda, tapi mulailah untuk lebih mengukur porsi candaan itu agar tidak terlampau menjadi sebuah candu. Pasalnya, kita ini manusia, dan kita bukan batu. Manusia punya banyak respon dan sifat dalam menyikapi segala sesuatu, dan manusia juga punya akal untuk menyesuaikan respon dan sifat mana yang harus dimunculkan saat mengalami hal tertentu. Semua ini jauh berbeda dengan batu, yang hanya punya satu respon dan sifat, yaitu ‘diam’.

***

Kesimpulannya, keempat hal ini hanyalah penjabaran buah ‘otak sengklek’ yang gua ambil dari cerita dan pengalaman unik milik gua pribadi. Pada dasarnya, keempat hal ini bukan sebuah standar atau gambaran buah ‘otak sengklek’ yang sesungguhnya, karena, mungkin masih banyak hal-hal di luar sana yang juga bisa menjadi indikasi buah dari ‘otak sengklek’. Yang jelas, di tulisan ini gua hanya mencoba menekankan bahwa keempat hal barusan harus segera kita benahi dan singkirkan, jika memang keempat hal tersebut masih “duduk bersemayam” di dalam diri kita (termasuk gua sendiri). Ini semua berguna supaya kita bisa segera membuang ‘otak sengklek’ dari pikiran kita, dan memulai untuk membangun konsep berpikir yang lebih terstruktur.




“Kebangkitan manusia itu terletak pada kebangkitan berpikir.”

-Syeikh Muhammad Taqiyyuddin An Nabhani-

You Might Also Like

8 komentar

Flickr Images