Mind
Teori Gak Sih 02: Buah dari Otak Sengklek
10:24 PM
Di suatu
siang yang mendung, tepatnya 12 tahun yang lalu (saat usia gua 10 tahun), ada
satu cerita unik yang pernah menghiasi masa kanak-kanak gua. Kalau nggak salah
ingat, cerita itu terjadi pada bulan Ramadhan, dan semua orang tau, biasanya di
bulan suci ini anak-anak punya tantangan besar untuk belajar puasa. Tapi,
karena gua tinggal di sebuah perkampungan (cari di google maps; Gerem Village),
tantangan yang gua dapatkan bukan hanya puasa. Tantangannya, sangat jauh lebih
besar dari itu.
Ditambah
lagi, notabene anak-anak yang tinggal di kampung kerap punya kebiasaan bermain
yang khas, dan teknik “ngebolang”
(bocah petualang) yang lebih ekstrim dari anak-anak pada umumnya. Jadi, gua
benar-benar dihadapkan dengan dua ujian yang sulit semacam itu. Di samping
harus menahan haus dan lapar, gua pun harus menahan nafsu besar untuk ngelakuin
hal-hal aneh saat main.
Tapi,
itu hanyalah sebuah teori yang bisa gua simpulkan di tulisan ini. Karena pada
kenyataanya, teori yang gua tulis di atas sama sekali nggak berlaku ketika gua
masih menjadi bocah kampung. Boro-boro mengenal teori, namanya juga anak-anak,
kelakuan dan sikapnya rata-rata ditampilkan secara spontan tanpa pikir panjang.
Begitu pun dengan gua, yang pernah betul-betul mengalami hal yang lumayan
mengerikan karena nggak bisa menahan diri saat main. Intinya, semua ini adalah
buah dari ‘otak yang sengklek’.
Jadi singkat
cerita, waktu itu gua sedang merasa bereuforia ketika bermain dengan satu teman
gua di kampung. Euforia yang gua rasakan itu timbul karena teman gua –sebut
saja Kecambah– ingin mengajak gua ke
salah satu area di perkampungan untuk melihat pemandangan kebun buah Timun Suri
yang sedang musim panen. Kata dia, pemandangannya bisa menghilangkan rasa
dahaga ‘haus dan lapar’ yang dirasakan karena efek puasa. Bayangin, gimana gua
nggak tertarik, pikiran gua yang masih bocah dikasih premis-premis doktrin
semacam itu. Intinya, setelah ajakan si Kecambah ini, gua nggak pikir panjang
lagi untuk langsung bilang ‘hayuk’.
Setibanya
di area perkebunan, gua pun langsung merasa tenang dan terkagum saat melihat
pemandangan di area perkebunan itu. Dihadapan gua terpampang jelas lahan yang
penuh dengan buah timun suri berwarna kuning matang yang siap panen. Ditambah
lagi, gua juga mencium aroma khas buah timun suri matang dengan perpaduan udara
sejuk mendung yang memang sedang menyelimuti hari itu. Memang benar si
Kecambah, seolah-olah apa yang gua lihat ini adalah surga dunia. Rasanya indah
sekali.
Tapi...
Rasa tenang dan kagum gua ini akhirnya nggak bertahan lama. Semuanya mulai
terganggu ketika si Kecambah tiba-tiba teriak memanggil dan menyuruh gua untuk
menghampirinya. Dia berteriak sambil mengklaim bahwa dia menemukan sebuah
‘harta karun’. Yang namanya anak-anak, kalau mendengar kata ‘harta karun’ pasti
ditafsirkan sebagai sesuatu yang berharga, dan kebanyakan anak-anak pasti
senang dengan itu.
Yah apa
boleh buat, gua terpaksa harus menghampiri si Kecambah. Tapi, dengan seketika gua
justru merasa dikejutkan melihat apa yang dia temukan. Wah, si Kecambah
benar-benar menemukan ‘harta karun’. Dia berhasil menemukan tiga buah timun
suri matang yang berada di area pojok perkebunan dan siap untuk dipetik. Dengan
melihat ‘harta karun’ ini, si Kecambah pun lalu mulai menunjukkan gelagat
‘jahat’ dengan sebuah isyarat yang memaksa gua harus mengikuti apa kemauannya. Ya,
intinya dia berniat untuk mencuri tiga buah timun suri itu.
Si
Kecambah pun mulai berbisik sambil menunjukkan ekspresi muka mirip gambar ikan
di kaleng sarden. Dia bilang, “Oi, jukut bae keh buahe! (Oi, ambil aja yuk
buahnya!).”
Weits,
tapi nggak semudah itu gua menuruti apa keinginannya. Gua langsung menolak
ajakannya sambil mengatakan, “Asal bae sire, aje dijukut, engko keweroan karo
sing due (Asal aja lo, jangan diambil, nanti ketauan sama yang punya).”
Si
Kecambah menjawab, “Wis lah orepape, wong lake sing deleng, jukut bae yuklah!
(Udahlah gapapa, orang nggak ada yang liat, ambil aja yuk!).”
Gua
sedikit terpengaruh dan mulai bertanya, “Hmm... Dose ore? (Hmm... Dosa gak?).”
Si
Kecambah kemudian mulai ngeles sambil berkata, “Ore, ngejukut telu doang mah
ore dose, dose iku lamun ngejukut sepuluh (Nggak, ngambil tiga mah nggak dosa,
dosa itu kalau ngambil sepuluh).”
Semakin
ditentang, si Kecambah ternyata semakin mengelak dengan fatwanya. Dasar,
Kecambah. Maka dengan entengnya, kami berdua pun mulai beraksi mengambil tiga
buah timun suri itu.
Namun
yang jadi persoalan adalah, gua dan si kecambah seketika lupa kalau waktu itu
adalah waktu panen buah timun suri. Efek
euforia penemuan ‘harta karun’ ini juga membuat kami lupa kalau di sekeliling
kebun itu pasti ada banyak petani yang sedang memetik dan mengumpulkan buah
timun suri hasil panen. Jadi, walaupun buah yang dicuri letaknya masih nggak
terjangkau petani, tapi seenggaknya mereka pasti mengawasi setiap sisi dari
area perkebunannya.
Maka
dari sinilah semua hal mengerikan itu dimulai. Nggak lama setelah mencoba
memetik satu buah timun suri, tiba-tiba gua dan si Kecambah mendengar sebuah
teriakan yang menggema dari jauh. Suara itu kemudian perlahan semakin terdengar
jelas dan mulai mendekat ke arah kami.
“WEY
SIRE AJE DIJUKUT IKU BUAHE! TAK SERIMPUNG SIRE!”
(Catatan:
‘Serimpung’ dalam bahasa Gerem Village berarti melemparkan cerurit ke arah kaki)
Suara
teriakan ini benar-benar mengagetkan dan bikin shock ringan. Persis
kayak bunyi “plung” di tengah perairan sungai yang sunyi senyap.
Tiba-tiba,
terlihatlah sesosok pria kekar berlari sambil memegang cerurit. Jelas, pria itu
adalah petani area perkebunan, dan dia ingin menghampiri gua dan si Kecambah.
Kami berdua pun secara spontan mulai tersadar kalau rencana pencurian tiga buah
timun suri tadi ternyata telah diketahui oleh pria kekar tersebut. Dengan
respon cepat, kami berdua mulai berlari sepenuh tenaga meninggalkan area perkebunan
itu dengan satu buah timun suri yang sudah kami petik. Pria kekar tadi tetap
berlari mengejar sambil mengangkat cerurit yang ada di tangannya, tapi... Dia
tertinggal jauh di belakang kami berdua. Pada akhirnya, gua dan si Kecambah
berhasil kabur dari area perkebunan itu sambil tertawa, dengan tambahan catatan
mengerikan bahwa kaki kami berdua nyaris terkena lemparan cerurit yang dilempar
oleh pria kekar tersebut. Tampaknya ini memang adalah azab yang pas untuk dua orang
bocah yang berniat mencuri buah timun suri saat bulan Ramadhan. Mengerikan
sekali.
***
Maka dari
sinilah gua dapat berkesimpulan bahwa ‘otak sengklek’ itu memang menciptakan
masalah. Dari cerita unik masa lalu barusan, gua juga menemukan teori bahwa
‘otak sengklek’ ini timbul dari konsep berpikir yang kurang terstruktur.
Bayangin aja, namanya juga anak-anak, di usia segini mereka masih belum punya
yang namanya konsep berpikir. Jangankan konsep berpikir, paham dengan apa yang
dilakukan saja masih kebingungan. Yang ada di otak anak-anak itu hanyalah melakukan
kesenangan semata. Pokoknya, sangat-sangat unfaedah.
Tapi,
hal semacam itu masih dianggap wajar. Namanya juga masih anak-anak. Hanya saja,
kalau berkaca pada dampak yang terjadi dari cerita barusan, muncul sebuah
pertanyaan; “apa jadinya kalau buah dari ‘otak sengklek’ itu masih sering
dialami oleh orang-orang yang sudah bukan dikategorikan sebagai anak-anak?” Nah,
ini baru nggak bisa diwajarkan, dan menurut gua, hal semacam ini justru bisa menjadi
sumber utama sebuah masalah kalau nggak mulai disadari.
Sebenarnya,
cerita masa lalu gua barusan hanyalah salah satu contoh kasus soal gambaran
buah ‘otak sengklek’ yang datang dari pengalaman gua pribadi. Cerita ini, bagi
gua, adalah sebuah cerita yang bisa menjadi pelajaran untuk mengetahui betapa
bahayanya punya ‘otak sengklek’. Oleh karena itu, gua akan sedikit mem-breakdown
seperti apa sih sebenarnya buah dari ‘otak sengklek’ itu. Di tulisan ini, gua hanya akan membagi buah dari ‘otak
sengklek’ menjadi empat hal.
Terlalu Banyak Pikir Pendek
Yang
pertama adalah terlalu banyak pikir pendek. Pikir pendek sebenarnya punya porsi
dan ukurannya tersendiri. Pikir pendek ini punya fungsi untuk memecahkan
masalah yang terjadi secara spontan. Contohnya, ketika mengalami bocor ban saat
sedang mengendarai motor di jalan, pikir pendek akan dengan spontan memberikan
sebuah solusi untuk “mencari bengkel tambal ban atau bengkel motor”. Di situasi
seperti itu, pikir pendek nggak mungkin memberikan solusi untuk mengarahkan
sang pengendara motor pergi ke pabrik motor supaya mengganti motornya dengan yang
baru. Solusi seperti ini bisa saja muncul kalau memang sang pengendara motor
sering mengkonsumsi biji timun.
Tapi,
terlalu banyak pikir pendek, justru menciptakan masalah. Terlalu banyak pikir
pendek juga adalah penyebab otak menjadi semakin ‘sengklek’. Karena nggak semua
hal bisa diselesaikan dengan cara yang praktis dan pragmatis. Diperlukan cara
berpikir panjang untuk ditempatkan pada porsi masalah yang memang nggak bisa
diselesaikan dengan pola pikir pendek. Hal ini juga berguna untuk membuat orang
punya pikiran terbuka dalam menyikapi segala sesuatu. Kalau nggak, maka yang
terjadi adalah sudut pandang berpikir menjadi sempit, seperti halnya gua dan si
Kecambah yang sama sekali nggak memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi
setelah mencuri buah timun suri.
Cara menghindari
pola pikir pendek semacam itu bisa dipelajari lewat pengalaman, literatur atau
sebuah konsep berpikir dari para tokoh terkemuka. Gua sendiri belajar dari
konsep berpikir Rasulullah SAW ketika melakukan perjanjian Hudaibiyah dengan
orang Quraisy. Saat itu, perjanjian yang dibuat dinilai “berat sebelah” dan
merugikan pihak Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Salah satu sahabat
Rasulullah SAW, Umar bin Khattab, bahkan sempat sangat kesal dengan isi
perjanjiannya. Namun, karena Rasulullah SAW memiliki konsep berpikir yang berlandaskan
wahyu (petunjuk Allah), maka beliau justru punya pandangan yang jauh lebih
visioner dari para sahabatnya. Rasulullah SAW pun kemudian menyakinkan para
sahabatnya dengan penjelasan bahwasannya isi perjanjian itu adalah awal dari
kemenangan. Ternyata, keyakinan Rasulullah SAW itu benar adanya, dan terbukti,
beliau beserta para sahabatnya berhasil memanfaatkan isi perjanjian Hudaibiyah
untuk membebaskan kota Mekkah dari tangan orang Quraisy.
Kisah
dan penjelasan lengkapnya bisa dilihat di video ini:
Mudah Bereuforia
Terlampau
senang tanpa batas itu adalah sesuatu yang bermasalah. Apalagi, ketika sudah
mulai merasa mudah untuk bereuforia terhadap segala hal. Ini lebih bahaya lagi.
Biasanya hal semacam itu akan menciptakan sikap yang fanatis, dan merasa ogah
ketika hal yang disukainnya mulai terusik. Sama seperti gua yang merasa bereuforia
dengan pemandangan kebun buah timun suri, di mana seolah euforia yang dirasakan
adalah sesuatu yang nggak boleh diganggu. Apapun yang bertentangan dengan sisi
kesenangan yang sedang dirasakan, harus segera dihilangkan. Oleh karena itu,
wajar mengapa gua merespon si Kecambah dengan sedikit kesal ketika dia mulai
mengganggu rasa euforia yang gua rasakan saat melihat pemandangan kebun buah
timun suri.
Hal
semacam ini punya akibat yang lumayan fatal. Karena, respon yang ditimbulkan
dari si “penikmat euforia” akan membawanya berada dalam sikap yang pasif akibat
merasa ogah untuk diusik. Seperti orang yang mabuk, saking terlampau “nyaman”,
respon seperti itu menyebabkan si “penikmat euforia” nggak peduli sama hal lain
selain hal yang bersangkut paut dengan rasa euforianya. Oleh karena itu, si “penikmat
euforia” bisa dengan mudah untuk terdoktrin dengan segala hal yang sedang
disenanginya. Karena sejatinya, sikap pasif yang ditimbulkan tadi adalah sebuah
jalan yang memudahkan seseorang untuk terdoktrin oleh hal-hal yang dianggapnya “nyaman”.
Penjabaran
barusan bukan lahir dari argumentasi gua semata. Itu semua gua kutip dan gua
pelajari dari pakar linguistik dan kritikus asal Amerika, Noam Chomsky, yang pernah
menulis soal propaganda, indoktrinasi dan sifat pasif. Di dalam bukunya yang
berjudul “How The World Works”, Chomsky mengatakan bahwa “Sistem
propaganda bukan hanya tentang bagaimana isu-isu dibingkai dalam berita, tetapi
juga bagaimana mereka dipresentasikan dalam program hiburan. Propaganda hiburan
adalah area luas dari media yang sebenarnya ditampilkan untuk mengalihkan penonton
dan membuat mereka menjadi lebih bodoh dan pasif.”
Mungkin
agak sedikit kurang nyambung dengan apa yang gua jabarkan sebelumnya, tapi
sebenarnya intisari dari perkataan Chomsky ini adalah, “hiburan bisa membuat
orang menjadi lebih bodoh dan pasif”. Ini semua bisa terjadi karena hiburan
selalu dikemas sedemikian rupa untuk membuat orang terlampau “nyaman”. Nah seringnya,
orang yang mudah merasa bereuforia sangat dekat dengan hal-hal semacam itu. Maka,
dengan fakta-fakta tersebut, wajar bukan kalau sikap mudah bereuforia ini merupakan
salah satu buah dari “otak sengklek”?
Coba deh mulai introspeksi dan dipikirin sendiri...
Coba deh mulai introspeksi dan dipikirin sendiri...
Taqlid
Menurut
Ibnu Khaldun di dalam bukunya yang terkenal yaitu “Muqaddimah”, Taqlid artinya
adalah mengambil segala sesuatu tanpa alasan dan sumber yang jelas. Secara
singkat; buta terhadap informasi. Taqlid itu sendiri lahir dari ketidaktauan dan ketidakmautauan
akan sesuatu. Persis seperti apa yang gua lakukan ketika gua meng-iya-kan fatwa
si Kecambah yang mengatakan bahwa mencuri tiga buah timun suri itu nggak
berdosa karena menurutnya yang berdosa itu adalah mencuri 10 buah timun suri.
Tanpa berlandaskan apapun, gua spontan percaya dengan fatwanya. Padahal, fatwanya
itu benar-benar menciptakan masalah...
Ibnu
Khaldun juga menjelaskan kalau Taqlid kerap menarik diri dari kepercayaan untuk
mengikuti tradisi. Misalnya begini... Masih ingat nggak sama pesan berantai
zaman BBM yang ditiap ujung pesannya bertuliskan; “Jangan berhenti di kamu,
sebarkan pesan ini! Atau bulu ketek kamu nggak tumbuh lagi!” Kalau masih ingat,
berarti kita sudah tua. Tapi, sebenarnya bukan itu kesimpulannya. Pesan ini
mengajarkan kepada kita semua, bahwa betapa pentingnya pengetahuan dan literasi
agar kita nggak menjadi Taqlid. Karena, biasanya pesan ini sering menciptakan tradisi
sendiri kepada si penerima untuk terpaksa mengirimkan pesan berantai itu tanpa terlebih
dulu mengetahui isi pesannya benar atau nggak. Tradisi ini muncul dari
ketakutan akibat bentuk kalimat yang ada disetiap akhir pesan berantai tersebut.
Maka, untuk
terhindar dari sikap Taqlid ini, perlu usaha yang lumayan keras dengan niat dan
tekad. Karena, Taqlid akan hilang dari diri kita kalau kita sudah mulai membuka
diri untuk menambah pengetahuan dan literasi dengan membaca (terutama membaca
buku). Membaca itu adalah pintu menuju keterbukaan pikiran, yang mengikis
ketidaktauan dan ketidakmautauan yang ada di dalam diri kita. Sehingga, hidup
kita nantinya akan lebih cerah dan terarah. Ibnu Khaldun bahkan bilang, “pengetahuan
dan literasi dapat menjernihkan dan memperbaiki lembaran-lembaran kebenaran.”
Candu Dengan Canda
Yang
terakhir ini sering tidak terlalu dianggap, tapi sebenarnya, dampaknya sangat
serius kalau nggak mulai disadari. Cobalah berkaca saja dengan fakta yang ada,
terlalu candu dengan canda itu pasti menumbuhkan sikap yang kurang serius. Malah
seringnya, candu dengan canda ini menafikan hal yang serius dengan balutan
berupa lawakan. Seolah-olah, dunia ini hanya sebatas candaan saja, dan
seolah-olah, nggak ada hal lain yang lebih indah dari respon tertawa. Padahal
kenyataannya, canda itu ada porsinya. Sikap seperti ini tergambar jelas muncul
pada diri gua dan si Kecambah ketika berhasil kabur dari kebun timun suri. Meskipun
kaki kami berdua nyaris putus terkena lemparang cerurit, tapi kami berdua tetap
merasa asyik sembari tertawa-tawa ketika menyikapinya. Bahkan, kami berdua mulai menghiraukan
hal apapun, termasuk hal pembelajaran dari hasil kelakuan kami itu. Yah... Boro-boro
mengambil pembelajaran, menyesal saja sepertinya patut dipertanyakan.
Sebenarnya,
membalut setiap hal dengan balutan canda atau lawakan itu memang “kelihatan
asyik”. Tapi, “kelihatan asyik” ini nggak punya parameter yang absolut. Setiap
orang punya pandangan berbeda mengenai hal itu. Akibatnya, “kelihatan asyik” di
mata setiap orang nggak akan sama. Bisa jadi, “kelihatan asyik” di mata kita,
justru ngeselin di depan orang lain, dan begitu juga sebaliknya. Terlebih lagi,
manusia itu, menurut Noam Chomsky, punya sifat dasar default yang
kompleks dalam bersikap dan berperilaku. Orang waras pasti tau kalau hal buruk
yang terjadi pada diri manusia itu kebanyakan diakibatkan karena kesalahan mereka
sendiri. Oleh karenanya, dengan sifat dasar default yang kompleks tadi, manusia
sejatinya punya sebuah respon yang sudah sesuai dengan kejadian yang mereka
alami. Maka, bodoh rasanya kalau setiap hal yang kita alami (termasuk hal
buruk) harus direspon hanya dengan sebuah candaan atau lawakan.
Jadi,
bukan tidak boleh untuk bercanda, tapi mulailah untuk lebih mengukur porsi
candaan itu agar tidak terlampau menjadi sebuah candu. Pasalnya, kita ini manusia,
dan kita bukan batu. Manusia punya banyak respon dan sifat dalam menyikapi
segala sesuatu, dan manusia juga punya akal untuk menyesuaikan respon dan sifat
mana yang harus dimunculkan saat mengalami hal tertentu. Semua ini jauh berbeda
dengan batu, yang hanya punya satu respon dan sifat, yaitu ‘diam’.
***
Kesimpulannya,
keempat hal ini hanyalah penjabaran buah ‘otak sengklek’ yang gua ambil dari cerita
dan pengalaman unik milik gua pribadi. Pada dasarnya, keempat hal ini bukan
sebuah standar atau gambaran buah ‘otak sengklek’ yang sesungguhnya, karena, mungkin
masih banyak hal-hal di luar sana yang juga bisa menjadi indikasi buah dari ‘otak
sengklek’. Yang jelas, di tulisan ini gua hanya mencoba menekankan bahwa keempat
hal barusan harus segera kita benahi dan singkirkan, jika memang keempat hal tersebut
masih “duduk bersemayam” di dalam diri kita (termasuk gua sendiri). Ini semua berguna
supaya kita bisa segera membuang ‘otak sengklek’ dari pikiran kita, dan memulai
untuk membangun konsep berpikir yang lebih terstruktur.
“Kebangkitan manusia itu terletak pada kebangkitan
berpikir.”
-Syeikh Muhammad Taqiyyuddin An Nabhani-
8 komentar
sabi sih kang
ReplyDeleteterimakasih mas
DeleteBacaan yg menambah wawasan tapi dibalut dgn cara tulis yg asik jadi ga bikin bosen��
ReplyDeletenuhun mang :)
DeleteMakin mantep ka topik nya! Thx ka ilmu nya
ReplyDeleteterimakasih :)
DeleteAla-ala anak filsafat nih, tapi filsafat Islami. Keren tulisannya, Mas.
ReplyDeleteMakasih mas :)
ReplyDelete