Sharing With Human 03: Pentingnya Takaran Sensitif

Setiap orang yang mengalami sakit, pasti membutuhkan obat untuk menyembuhkannya. Nah, biasanya, di dalam obat tersebut terdapat suatu ka...


Setiap orang yang mengalami sakit, pasti membutuhkan obat untuk menyembuhkannya. Nah, biasanya, di dalam obat tersebut terdapat suatu kandungan tertentu yang baik jika dipakai sesuai dengan takarannya. Oleh karena itu, jika pemakainnya tidak sesuai (melebihi takaran), kandungan yang ada pada obat itu akan menjadi dampak buruk dan menimpa tubuh kita sendiri.

Mungkin gua memang terlihat seperti apoteker yang sedang memberi resep obat bisul kepada seorang pasien. Tapi, apa yang gua analogikan barusan, itu sama persis dengan apa yang ada di kehidupan nyata manusia, semua hal yang ada di dunia ini pasti butuh yang namanya TAKARAN.

Sejenak gua jelaskan, apa maksud TAKARAN yang akan dibeberkan pada tulisan ini.

Arti TAKARAN dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘alat untuk menakar’, ‘ukuran’ atau dalam kata lain ‘batasannya sudah ditentukan’. Itulah mengapa setiap manusia yang hidup di dunia ini nggak diperbolehkan melakukan sesuatu yang berlebihan, karena berlebihan itu termasuk bentuk yang keluar dari batasan suatu TAKARAN. Tapi, TAKARAN yang gua maksud di sini hanyalah sebagai kata kiasan yang digunakan untuk mendeskripsikan kalau setiap manusia yang hidup di dunia ini punya batasan dalam melakukan sesuatu (Biar asik aja cyin).

Batasan itulah yang harus bisa kita kontrol sendiri. Kenapa? Karena emang, hanya diri kita sendiri yang bisa membatasi apa yang akan kita lakukan. Kunci utamanya sih cuman satu, yaitu kemauan bergerak dalam upaya menahan segala hal yang sekiranya berlebihan, dan juga beradaptasi dengan situasi. Dan pada dasarnya, semua itu bakal sangat amat sulit tuk dilakukan, tapi apa salahnya sih dicoba? (Ngomong doang mah gua juga bisa udel bunglon)

Bingung ya? Kalau bingung... Ambil contoh begini, ada satu kisah dalam cerita Harry Potter, soal Voldemort yang jadi jahat setelah bisa menguasai kekuatan Black Magic atau dalam bahasa perdukunan biasa disebut dengan ilmu hitam. Di sisi lain, Voldemort sebenarnya adalah salah satu jebolan penyihir yang terbilang cerdas di sepanjang masanya bersekolah di Hogwarts.

Tapi, karena rasa penasaran yang berlebihan terhadap sihir, ia menjadi kalap dan ingin mendapatkan semua kekuatan yang ada di dalamnya. Musuh Harry Potter itu kemudian keluar dari batasannya sendiri. Voldemort juga kehilangan akal untuk membatasi rasa penasarannya, dan ia justru lebih mengikuti hawa nafsunya agar bisa menguasai semua jenis kekuatan sihir. Maka dari itu, ia akhirnya menjadi jahat, dan tampilan wajahnya pun berubah seketika setelah hidungnya hilang entah kemana.

Meskipun begitu keadaanya, Voldemort yang jahat itu akhirnya mati. Dan saat ini, hal itupun bukanlah sebuah masalah besar lagi. Karena pada kenyataannya pun Voldemort bukanlah masalah besar bagi kita...

Nah, bisa dilihat kan, kecerdasan juga bisa berdampak buruk jika kita sendiri tidak bisa mengontrolnya, dan bahkan kalau sampe keluar dari batasan, efek negatif bakal terus menimpa kita. Ya salah satu efeknya, bisa aja kita jadi kehilangan idung atau meninggal seperti apa yang terjadi pada Voldemort (Lucu xianying). So bisa kebayang kan apa yang bakal terjadi kalau kita melakukan sesuatu yang keluar dari batasan?

Tapi, terlepas dari itu semua, sekarang ada hal yang jauh lebih meresahkan daripada kisah Voldemort, dan bagi gua hal tersebut justru jauh lebih buruk. Mungkin, bisa dibilang jika yang gua resahkan saat ini adalah sumber kekacauan yang mungkin juga dirasakan oleh rata-rata orang di Indonesia.

Mengapa gua bisa bilang begitu? Mari kita bahas satu-satu.

Yang pertama... Di zaman sekarang ini, seluruh dunia sudah dipenuhi dengan layanan teknologi canggih. Semua hal berbau teknologi, sampai toilet pun sekarang banyak yang menggunakan fitur ‘Automatic Wash’ (Tinggal tekan tombol, bisa cebok dengan sendirinya). Bahkan, di setiap sudut perkotaan, disediakan fasilitas publik yang berbasis ‘Future Technology’, yang berfungsi guna memudahkan setiap orang dalam melakukan sesuatu (Vending machine contohnya). Ditambah lagi, perkembangan teknologi gadget atau smartphone sering menjadi hal yang terbilang lumrah terjadi di tiap tahunnya. Karena itu, rata-rata semua hal saat ini berbasis teknologi, dan teknologi jadi semakin sensitif penggunaannya.

Efeknya, kita jadi haus akan teknologi, dan teknologi sendiri menjelma menjadi sumber obat buat ‘sakit’ kita (Obat pemuas kebutuhan tersier). Tapi, hal ini justru yang menjadi momok untuk para penggunannya (khususnya di Indonesia). Pasalnya, mereka semua nggak bisa menahan arus yang ada pada perkembangan terknologi canggih, dan malah ikut-ikutan jadi sensitif.

Nah, yang kedua... Kenapa hayo rata-rata pengguna yang khususnya orang di Indonesia itu ‘malah ikut-ikutan jadi sensitif’? Alasannya sih simpel... Karena semua hal tadi bermuara dari aktifitas baru orang-orang di Indonesia, yang saat ini mahir dalam bersosial media.

Sosial media saat ini seakan-akan menjadi sesuatu yang ‘harus ada’ dalam hidup manusia. Sosial media pun secara nggak langsung telah jadi bagian dari ‘penyembuh’ rasa keinginan berlebih untuk bisa eksis di hadapan publik. Maka dari itu, rata-rata orang di Indonesia beranggapan jika mahir dalam bersosial media berarti sudah termasuk ‘manusia kekinian’ (Hmm sungguh menarique).

Padahal, kita punya sebuah TAKARAN dalam membatasi diri dari sosial media. Tapi ketika kita keluar dari ‘zona’ TAKARAN tersebut, secara bertahap, kita akan mengalami penurunan jiwa sosial terhadap sesama, yang secara langsung bakal berdampak besar pada kehidupan nyata. Karena sebenarnya, sosial media hanya bisa mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat.

Gua akan sedikit ber-intermezo.

Jadi, pada dasarnya sosial media adalah salah satu ranah dari perkembangan teknologi. Dibuatnya sosial media sendiri, bertujuan untuk menjaring komunikasi secara luas dan tempat untuk berbagi informasi. Tapi menurut gua, rata-rata orang di Indonesia sekarang, malah menambahkan tujuan utama dari sosial media itu sendiri. Bagus sih kalau menambahkan tujuan sosial media ke hal yang lebih positif, tapi pada nyatanya? Malah melesat jauh ke hal yang lebih negatif.

Salah satu tujuan negatif yang menurut gua telah menjadi ‘penyakit kanker’ dan sudah menyebar ke rata-rata masyarakat Indonesia pengguna sosial media adalah soal membuat komentar ‘sampah’, yang dipicu karena merasa tersindir atau mudah terpelatuk, dengan kata lain SENSITIF berlebihan (Baper maksimal bosq). Contoh simpelnya bisa dilihat pada kolom komentar yang ada di sebuah postingan viral atau konten-konten terkenal lain, yang isinya bisa dibilang kontroversial di sosial media. Tapi, kalau memang konten tersebut dirasa kontroversial, coba pikir deh, apakah pantas sebuah komentar ‘sampah’ terus menjadi hal yang sering muncul di konten sosial media?

Bahkan, saat ini pun sebuah label ‘pengujar kebencian’ menyemat di kebanyakan akun-akun di sosial media. ‘Pengujar kebencian’ sendiri biasanya sering berada di belakang akun yang berisikan konten sara atau konten pemicu ‘sumbu emosi’ para pengguna sosial media. Hal itu dibuat bertujuan untuk mengajak publik pengguna sosial media untuk ‘ikut-ikutan’ berada di dalam sebuah konflik, dan konflik ini biasanya telah menjadi viral terlebih dahulu. Di sisi lain, tujuan utama ‘pengujar kebencian’ juga adalah mencari keuntungan.

Maka dari itu, rata-rata kebanyakan orang di Indonesia sangat SENSITIF dalam menyikapi hal yang gua jelaskan di atas. Mereka tidak bisa menakar, mana yang seharusnya dilontarkan dan mana yang tidak dalam berkomentar di sosial media. Jadi, jangan heran, kalau komentar ‘sampah’ sering sekali muncul di banyak kolom komentar sebuah konten yang ada di sosial media.

Meresahkan bukan? (Kalo nggak juga gapapa kok, aku ikhlas)

Menurut gua, SENSITIF sendiri sebenarnya adalah sebuah bentuk kepekaan terhadap sesuatu, tapi karena berlebihan, itu semua dengan cepat berubah jadi ‘bencana besar’ bagi pikiran kita sendiri. Itulah mengapa kita semua butuh yang namanya TAKARAN SENSTIF untuk membatasi cara berfikir kita dalam menyikapi sesuatu.

Karena pada dasarnya manusia itu diciptakan untuk saling menghargai dan bersikap baik terhadap sesama. Namun, karena kasus yang gua resahkan adalah kebiasaan baru yang melanda rata-rata orang di Indonesia, semua hal mendasar yang seharusnya manusia lakukan justru mulai ditinggalkan. Kalau dicermati baik-baik, bisa jadi, kebiasaan berkomentar buruk di sosial media adalah salah satu faktor yang dengan cepat merubah mindset orang Indonesia. Jadi, kalau tidak berkomentar, menurut mereka ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.

Kalau memang seperti itu, bukankah akan lebih baik jika melakukan kebiasaan yang lebih positif daripada hanya melontarkan komentar di sosial media? Bayangkan, berapa banyak waktu yang sudah di sia-sia kan hanya untuk berkomentar dalam sehari. Kalau boleh di asumsikan, jika dalam satu hari saja kita mengorbankan waktu dua sampai tiga jam waktu kita hanya untuk berkomentar, total kita akan kehilangan 14-21 jam waktu dalam seminggu. Itu berarti kita berhasil membuang waktu dengan percuma hanya untuk hal yang tidak penting.

Coba bayangkan, sebenarnya kita bisa melakukan aktifitas yang lebih bermanfaat dengan waktu yang sebanyak itu. Anggap saja waktu 14 jam dalam seminggu itu tadi, kita bisa pakai untuk membaca buku ‘Cara Sukses Berternak Iguana’ (Contoh), itu berarti dalam satu hari kita akan habiskan dua jam waktu kita untuk membaca buku tersebut.

Misal, buku yang kita baca itu mempunyai 28 bab, dan kita di asumsikan bisa membaca dua bab selama dua jam yang akan kita habiskan dalam sehari. Itu berarti, kurang lebih, dalam dua minggu saja kita sudah berhasil membaca semua isi bukunya, dan mungkin saja kita juga berhasil menguasai semua langkah sukses yang ada di dalam isi buku ‘Cara Sukses Berternak Iguana’ tersebut. Kemudian, semua langkahnya bisa kita ikuti dengan maksimal, dan kesuksesan yang sama seperti apa yang buku itu katakan berdampak positif kepada diri sendiri. Pada akhirnya ternyata kita berhasil menjadi salah satu peternak Iguana tersukses di Indonesia berkat buku itu (Gokil kan).

Secara nggak langsung, sugesti kesuksesan yang ada di dalam isi buku ‘Cara Sukses Beternak Iguana’ sontak bakal mengubah pola pikir kita. Itu berarti, hal yang kita lakukan selama dua jam dalam sehari tadi jauh lebih bermanfaat ketimbang melontarkan komentar ‘sampah’ di sosial media.
Jadi sekali lagi, daripada terlalu SENSITIF ada baiknya kan untuk difikirkan terlebih dahulu, seberapa penting sih kita sampai harus berkomentar ‘sampah’? (Mending ternak Iguana yekan? He he)

Nah, maka dari itu TAKARAN SENSITIF harus dibangun semaksimal mungkin supaya kita sendiri nggak kewalahan dalam menyikapi sebuah permasalahan. Itu berarti, dalam konteks membatasi cara berfikir kita masing-masing. Membatasi di sini bukan berarti kita tidak diperbolehkan tuk memikirkan solusi dari sebuah masalah, tapi hal ini lebih merancu pada kepekaan kita dalam menanggapi suatu hal. Kalau sugesti kita mengalir ke arah pikiran negatif (Yang bisa dibilang SENSITIF) dan bakal memicu konflik, maka itulah yang harus kita batasi. Coba deh dari sekarang, kita mulai menakar cara berfikir kita sendiri, supaya kepekaan yang terlalu SENSITIF nggak lagi muncul di pikiran kita ke depannya. Yoi bro? (So asik lo alis ketombe)




“Your life is founded on the principal that all the way of thinking have limits”

You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images