Mind
Sharing With Human 03: Pentingnya Takaran Sensitif
5:44 PMSetiap orang yang mengalami sakit, pasti membutuhkan obat untuk menyembuhkannya. Nah, biasanya, di dalam obat tersebut terdapat suatu kandungan tertentu yang baik jika dipakai sesuai dengan takarannya. Oleh karena itu, jika pemakainnya tidak sesuai (melebihi takaran), kandungan yang ada pada obat itu akan menjadi dampak buruk dan menimpa tubuh kita sendiri.
Mungkin gua memang terlihat seperti apoteker yang sedang memberi
resep obat bisul kepada seorang pasien. Tapi, apa yang gua analogikan barusan,
itu sama persis dengan apa yang ada di kehidupan nyata manusia, semua hal yang
ada di dunia ini pasti butuh yang namanya TAKARAN.
Sejenak gua jelaskan, apa maksud TAKARAN yang akan dibeberkan
pada tulisan ini.
Arti TAKARAN dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘alat
untuk menakar’, ‘ukuran’ atau dalam kata lain ‘batasannya sudah ditentukan’.
Itulah mengapa setiap manusia yang hidup di dunia ini nggak diperbolehkan
melakukan sesuatu yang berlebihan, karena berlebihan itu termasuk bentuk yang
keluar dari batasan suatu TAKARAN. Tapi, TAKARAN yang gua maksud di sini hanyalah
sebagai kata kiasan yang digunakan untuk mendeskripsikan kalau setiap manusia
yang hidup di dunia ini punya batasan dalam melakukan sesuatu (Biar asik aja
cyin).
Batasan itulah yang harus bisa kita kontrol sendiri. Kenapa?
Karena emang, hanya diri kita sendiri yang bisa membatasi apa yang akan kita
lakukan. Kunci utamanya sih cuman satu, yaitu kemauan bergerak dalam upaya
menahan segala hal yang sekiranya berlebihan, dan juga beradaptasi dengan situasi.
Dan pada dasarnya, semua itu bakal sangat amat sulit tuk dilakukan, tapi apa
salahnya sih dicoba? (Ngomong doang mah gua juga bisa udel bunglon)
Bingung ya? Kalau bingung... Ambil contoh begini, ada satu kisah
dalam cerita Harry Potter, soal Voldemort yang jadi jahat setelah bisa
menguasai kekuatan Black Magic atau
dalam bahasa perdukunan biasa disebut dengan ilmu hitam. Di sisi lain,
Voldemort sebenarnya adalah salah satu jebolan penyihir yang terbilang cerdas di
sepanjang masanya bersekolah di Hogwarts.
Tapi, karena rasa penasaran yang berlebihan terhadap sihir,
ia menjadi kalap dan ingin mendapatkan semua kekuatan yang ada di dalamnya.
Musuh Harry Potter itu kemudian keluar dari batasannya sendiri. Voldemort juga kehilangan
akal untuk membatasi rasa penasarannya, dan ia justru lebih mengikuti hawa
nafsunya agar bisa menguasai semua jenis kekuatan sihir. Maka dari itu, ia
akhirnya menjadi jahat, dan tampilan wajahnya pun berubah seketika setelah
hidungnya hilang entah kemana.
Meskipun begitu keadaanya, Voldemort yang jahat itu akhirnya
mati. Dan saat ini, hal itupun bukanlah sebuah masalah besar lagi. Karena pada
kenyataannya pun Voldemort bukanlah masalah besar bagi kita...
Nah, bisa dilihat kan, kecerdasan juga bisa berdampak buruk
jika kita sendiri tidak bisa mengontrolnya, dan bahkan kalau sampe keluar dari
batasan, efek negatif bakal terus menimpa kita. Ya salah satu efeknya, bisa aja
kita jadi kehilangan idung atau meninggal seperti apa yang terjadi pada
Voldemort (Lucu xianying). So bisa kebayang kan apa yang bakal terjadi kalau
kita melakukan sesuatu yang keluar dari batasan?
Tapi, terlepas dari itu semua, sekarang ada hal yang jauh
lebih meresahkan daripada kisah Voldemort, dan bagi gua hal tersebut justru jauh
lebih buruk. Mungkin, bisa dibilang jika yang gua resahkan saat ini adalah
sumber kekacauan yang mungkin juga dirasakan oleh rata-rata orang di Indonesia.
Mengapa gua bisa bilang begitu? Mari kita bahas satu-satu.
Yang pertama... Di zaman sekarang ini, seluruh dunia sudah dipenuhi
dengan layanan teknologi canggih. Semua hal berbau teknologi, sampai toilet pun
sekarang banyak yang menggunakan fitur ‘Automatic
Wash’ (Tinggal tekan tombol, bisa cebok dengan sendirinya). Bahkan, di
setiap sudut perkotaan, disediakan fasilitas publik yang berbasis ‘Future Technology’, yang berfungsi guna
memudahkan setiap orang dalam melakukan sesuatu (Vending machine contohnya). Ditambah
lagi, perkembangan teknologi gadget
atau smartphone sering menjadi hal
yang terbilang lumrah terjadi di tiap tahunnya. Karena itu, rata-rata semua hal
saat ini berbasis teknologi, dan teknologi jadi semakin sensitif penggunaannya.
Efeknya, kita jadi haus akan teknologi, dan teknologi sendiri
menjelma menjadi sumber obat buat ‘sakit’ kita (Obat pemuas kebutuhan tersier).
Tapi, hal ini justru yang menjadi momok untuk para penggunannya (khususnya di
Indonesia). Pasalnya, mereka semua nggak bisa menahan arus yang ada pada
perkembangan terknologi canggih, dan malah ikut-ikutan jadi sensitif.
Nah, yang kedua... Kenapa hayo rata-rata pengguna yang
khususnya orang di Indonesia itu ‘malah ikut-ikutan jadi sensitif’? Alasannya sih
simpel... Karena semua hal tadi bermuara dari aktifitas baru orang-orang di
Indonesia, yang saat ini mahir dalam bersosial media.
Sosial media saat ini seakan-akan menjadi sesuatu yang ‘harus
ada’ dalam hidup manusia. Sosial media pun secara nggak langsung telah jadi bagian
dari ‘penyembuh’ rasa keinginan berlebih untuk bisa eksis di hadapan publik.
Maka dari itu, rata-rata orang di Indonesia beranggapan jika mahir dalam
bersosial media berarti sudah termasuk ‘manusia kekinian’ (Hmm sungguh
menarique).
Padahal, kita punya sebuah TAKARAN dalam membatasi diri dari
sosial media. Tapi ketika kita keluar dari ‘zona’ TAKARAN tersebut, secara
bertahap, kita akan mengalami penurunan jiwa sosial terhadap sesama, yang
secara langsung bakal berdampak besar pada kehidupan nyata. Karena sebenarnya,
sosial media hanya bisa mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat.
Gua akan sedikit ber-intermezo.
Jadi, pada dasarnya sosial media adalah salah satu ranah dari
perkembangan teknologi. Dibuatnya sosial media sendiri, bertujuan untuk
menjaring komunikasi secara luas dan tempat untuk berbagi informasi. Tapi
menurut gua, rata-rata orang di Indonesia sekarang, malah menambahkan tujuan
utama dari sosial media itu sendiri. Bagus sih kalau menambahkan tujuan sosial
media ke hal yang lebih positif, tapi pada nyatanya? Malah melesat jauh ke hal
yang lebih negatif.
Salah satu tujuan negatif yang menurut gua telah menjadi ‘penyakit
kanker’ dan sudah menyebar ke rata-rata masyarakat Indonesia pengguna sosial
media adalah soal membuat komentar ‘sampah’, yang dipicu karena merasa tersindir
atau mudah terpelatuk, dengan kata lain SENSITIF berlebihan (Baper maksimal
bosq). Contoh simpelnya bisa dilihat pada kolom komentar yang ada di sebuah postingan
viral atau konten-konten terkenal lain, yang isinya bisa dibilang kontroversial
di sosial media. Tapi, kalau memang konten tersebut dirasa kontroversial, coba
pikir deh, apakah pantas sebuah komentar ‘sampah’ terus menjadi hal yang sering
muncul di konten sosial media?
Bahkan, saat ini pun sebuah label ‘pengujar kebencian’
menyemat di kebanyakan akun-akun di sosial media. ‘Pengujar kebencian’ sendiri
biasanya sering berada di belakang akun yang berisikan konten sara atau konten
pemicu ‘sumbu emosi’ para pengguna sosial media. Hal itu dibuat bertujuan untuk
mengajak publik pengguna sosial media untuk ‘ikut-ikutan’ berada di dalam sebuah
konflik, dan konflik ini biasanya telah menjadi viral terlebih dahulu. Di sisi
lain, tujuan utama ‘pengujar kebencian’ juga adalah mencari keuntungan.
Maka dari itu, rata-rata kebanyakan orang di Indonesia sangat
SENSITIF dalam menyikapi hal yang gua jelaskan di atas. Mereka tidak bisa
menakar, mana yang seharusnya dilontarkan dan mana yang tidak dalam berkomentar
di sosial media. Jadi, jangan heran, kalau komentar ‘sampah’ sering sekali
muncul di banyak kolom komentar sebuah konten yang ada di sosial media.
Meresahkan bukan? (Kalo nggak juga gapapa kok, aku ikhlas)
Menurut gua, SENSITIF sendiri sebenarnya adalah sebuah bentuk
kepekaan terhadap sesuatu, tapi karena berlebihan, itu semua dengan cepat
berubah jadi ‘bencana besar’ bagi pikiran kita sendiri. Itulah mengapa kita
semua butuh yang namanya TAKARAN SENSTIF untuk membatasi cara berfikir kita dalam
menyikapi sesuatu.
Karena pada dasarnya manusia itu diciptakan untuk saling menghargai
dan bersikap baik terhadap sesama. Namun, karena kasus yang gua resahkan adalah
kebiasaan baru yang melanda rata-rata orang di Indonesia, semua hal mendasar
yang seharusnya manusia lakukan justru mulai ditinggalkan. Kalau dicermati
baik-baik, bisa jadi, kebiasaan berkomentar buruk di sosial media adalah salah
satu faktor yang dengan cepat merubah mindset
orang Indonesia. Jadi, kalau tidak berkomentar, menurut mereka ada sesuatu yang
kurang dalam hidupnya.
Kalau memang seperti itu, bukankah akan lebih baik jika
melakukan kebiasaan yang lebih positif daripada hanya melontarkan komentar di
sosial media? Bayangkan, berapa banyak waktu yang sudah di sia-sia kan hanya
untuk berkomentar dalam sehari. Kalau boleh di asumsikan, jika dalam satu hari
saja kita mengorbankan waktu dua sampai tiga jam waktu kita hanya untuk
berkomentar, total kita akan kehilangan 14-21 jam waktu dalam seminggu. Itu
berarti kita berhasil membuang waktu dengan percuma hanya untuk hal yang tidak
penting.
Coba bayangkan, sebenarnya kita bisa melakukan aktifitas yang
lebih bermanfaat dengan waktu yang sebanyak itu. Anggap saja waktu 14 jam dalam
seminggu itu tadi, kita bisa pakai untuk membaca buku ‘Cara Sukses Berternak
Iguana’ (Contoh), itu berarti dalam satu hari kita akan habiskan dua jam waktu
kita untuk membaca buku tersebut.
Misal, buku yang kita baca itu mempunyai 28 bab, dan kita di
asumsikan bisa membaca dua bab selama dua jam yang akan kita habiskan dalam sehari.
Itu berarti, kurang lebih, dalam dua minggu saja kita sudah berhasil membaca
semua isi bukunya, dan mungkin saja kita juga berhasil menguasai semua langkah
sukses yang ada di dalam isi buku ‘Cara Sukses Berternak Iguana’ tersebut. Kemudian,
semua langkahnya bisa kita ikuti dengan maksimal, dan kesuksesan yang sama
seperti apa yang buku itu katakan berdampak positif kepada diri sendiri. Pada
akhirnya ternyata kita berhasil menjadi salah satu peternak Iguana tersukses di
Indonesia berkat buku itu (Gokil kan).
Secara nggak langsung, sugesti kesuksesan yang ada di dalam
isi buku ‘Cara Sukses Beternak Iguana’ sontak bakal mengubah pola pikir kita. Itu
berarti, hal yang kita lakukan selama dua jam dalam sehari tadi jauh lebih
bermanfaat ketimbang melontarkan komentar ‘sampah’ di sosial media.
Jadi sekali lagi, daripada terlalu SENSITIF ada baiknya kan
untuk difikirkan terlebih dahulu, seberapa penting sih kita sampai harus berkomentar
‘sampah’? (Mending ternak Iguana yekan? He he)
Nah, maka dari itu TAKARAN SENSITIF harus dibangun semaksimal
mungkin supaya kita sendiri nggak kewalahan dalam menyikapi sebuah permasalahan.
Itu berarti, dalam konteks membatasi cara berfikir kita masing-masing.
Membatasi di sini bukan berarti kita tidak diperbolehkan tuk memikirkan solusi
dari sebuah masalah, tapi hal ini lebih merancu pada kepekaan kita dalam
menanggapi suatu hal. Kalau sugesti kita mengalir ke arah pikiran negatif (Yang
bisa dibilang SENSITIF) dan bakal memicu konflik, maka itulah yang harus kita
batasi. Coba deh dari sekarang, kita mulai menakar cara berfikir kita sendiri, supaya
kepekaan yang terlalu SENSITIF nggak lagi muncul di pikiran kita ke depannya.
Yoi bro? (So asik lo alis ketombe)
“Your life is founded on the principal that all the way of
thinking have limits”
0 komentar