Menerka Batas Masa Alay

Bahas hal serius dulu sebentar sebelum bahas fakta Fir’aun... Pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah dua kata yang hampir sama pem...

Bahas hal serius dulu sebentar sebelum bahas fakta Fir’aun...

Pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah dua kata yang hampir sama pemaknaannya. Kalau dilihat dari segi perubahan, pertumbuhan dan perkembangan sama-sama memiliki dampak yang sama bagi manusia itu sendiri. Tapi, kalau dijabarkan secara signifikan, perubahan yang diberikan pertumbuhan dan perkembangan, sangatlah berbeda. Menurut para ahli, pertumbuhan lebih menunjukkan bentuk perubahan ‘kuantitatif’, sedangkan perkembangan lebih menunjukkan bentuk perubahan ‘kualitatif’ (Udah kayak skripsi nying).

Maksudnya, secara detail, pertumbuhan menafsirkan perubahan fisik dari manusia, contohnya seperti perubahan tinggi badan, berat badan dan proses pubertas. Lalu, perkembangan lebih menafsirkan sisi kualitas hidup manusianya itu sendiri, contohnya adalah perubahan pola pikir dan sikap. Nah, makanya, terbukti kalau proses perubahan yang kita alami dan rasakan sendiri sampai saat ini, adalah bentuk dari proses pertumbuhan dan perkembangan (Masa sih?).

Proses perubahan yang kita alami sejak dulu sampai saat ini, adalah salah satu anugerah paling spesial yang telah diberikan Tuhan pada kita. Tapi, nggak semua orang bisa memaknai ini secara lebih mendalam. Beberapa dari kita, masih banyak yang menganggap kalau proses perubahan yang dialami selama ini, sebagai ‘hal biasa’ yang terjadi begitu saja.

Anak Gaul Masa Kini : “Iyadeh, terus kenapa?”

Karena ada kalanya kita semua harus berfikir lebih kritis terhadap sesuatu yang sering dianggap ‘hal biasa’ kayak penjelasan di atas. Menurut gua, sadar atau nggak, ‘hal biasa’ justru bisa mengambil alih situasi yang terjadi di sekitar kita, kalau kita sendiri cuma bisa acuh sama ‘hal biasa’ tersebut. Bingung? Minum yakult tiap hari... (Garing nying)

Ambil contoh begini, gua pernah denger satu fakta dari turnya Pandji Pragiwaksono yang membicarakan soal kebiasaan dan tradisi aneh orang-orang di Tiongkok. Jadi, faktanya orang di Tiongkok mempunyai kebiasaan aneh untuk kentut sembarangan entah dimanapun ia berada, dan terbiasa untuk tidak menyiram ‘PUP’ nya di toilet umum, karena yang akan menyiram ‘PUP’ tersebut adalah orang setelahnya.

Mungkin kita bakalan sangat jijik dan geli ketika tahu fakta itu. Padahal, etika kentut dan menyiram ‘PUP’ adalah ‘hal biasa’ yang nggak ribet cara penyelesaiannya. Nggak pernah liat kan, ada orang yang buang kentut dan menyiram ‘PUP’ cara penyelesaiannya pakai rumus kalkulus ataupun koding algoritma? (Terminator kali...)

Tapi, pandangan orang Tiongkok soal kentut dan menyiram ‘PUP’, sangatlah berbeda dengan kita. Mereka mungkin menganggap ‘hal biasa’ ini, menjadi hal yang benar-benar lumrah sampai menjadi sebuah tradisi selama bertahun-tahun lamanya. Makanya, sama seperti yang gua bilang tadi, ‘hal biasa’ emang terbukti bisa mengambil alih situasi yang terjadi di sekitar kita.

So, nggak lepas dari itu semua, di tulisan ini gua akan membahas ‘hal biasa’, yang (mungkin) dirasakan oleh semua orang di sekitar kita. Gua akan membahas soal transisi keluar dari masa ALAY dan solusi transformasi perubahan dewasa pada remaja (lebih khususnya di Indonesia) yang sudah menginjak usia 19-21 tahun.

***

Mengenali Masa ALAY

Hal yang paling awal bakal gua bahas adalah, ALAY.

Sebelumnya, jangan ngaku-ngaku dulu deh kalau diri kita sendiri udah nggak ALAY...

Kenapa? Silahkan di baca sendiri sampai akhir (He he he).

Hayo, apa sih ALAY itu?

Sebutan ALAY bisa dibilang familiar, karena semua remaja di Indonesia mungkin pernah merasakan dan berada dalam masa ini. Generasi ALAY, menurut gua normalnya berada di interval usia 12-18 tahun. Prosesnya pun bertahap, dan mungkin sering mengalami perubahan di tiap generasinya. Tapi, yang bakal gua jelaskan disini adalah generasi ALAY dalam lima sampai tujuh tahun kebelakang, karena gua sendiri nggak tahu, apa dan gimana jenis masa ALAY di masa lalu.

Pernah sih sesekali gua penasaran, jenis ALAY apa yang dilakukan generasi sebelum adanya handphone dan internet... Apa mungkin generasi di zaman itu, ketika nulis surat huruf-hurufnya bercampur besar dan kecil? Atau mungkin disaat mau menyampaikan pesan suara berbentuk VN (Voice Message) kepada pasangannya, mereka melatih burung beo supaya bisa mengucapkan kalimat ‘celamat pagi ea chuyunk’?...

Yah, apa daya sampai saat ini gua pun masih berasumsi, dan nggak pernah tahu ALAY seperti apa yang terjadi di masa lampau itu.

(Oke skip)

Nah, masa ALAY yang saat ini dikenal umum oleh orang banyak, sangat amat berkaitan dengan sosial media. Jadi, jauh sebelum terkenalnya Instagram, yaitu sekitar lima sampai tujuh tahun lalu, remaja ALAY Indonesia sangat familiar memainkan sosial media yang hits saat itu, seperti Twitter dan Facebook (Mungkin masih sampai sekarang). Fitur yang mereka sajikan adalah media tulis, atau bahasa umunya pada waktu itu bisa disebut ‘status’.

Orang-orang di masa itu, menganggap fitur tersebut sebagai ranah mereka dalam mengungkapkan berbagai hal yang menurut mereka patut di publikasikan. Contohnya, mereka sering mempublikasikan kegalauan dan perasaan mereka ketika sedang patah hati, atau sharing keseharian mereka lewat sebuah status seperti “aduh hari ini gue abis nginjek eek tapir nih di samping trotoar” (Pada akhirnya, lahirlah kategori anak ALAY karena hal ini). Jadi, sebelum heboh-heboh nya me-upload foto atau video di Instagram, di zaman itu orang-orang sudah biasa mempublikasikan utaran kalimatnya (status) di timeline atau beranda miliknya. 

Mungkin sekarang juga masih ada yang kayak gitu.

Oke, ga lama abis zaman itu (Padahal cuma selisih lima sampai  tujuh tahun), sosial media banyak berevolusi. Makanya kita pasti nggak heran kalau selfie, nulis status galau, sharing keseharian dan hal yang dianggap eksis lainnya, jadi mewabah di zaman serba smartphone ini. Bayangin aja, bahkan sekarang kita semua bisa menunjukkan keseharian kita ada di mana, kita lagi ngapain, hanya dengan membuat video berdurasi 14 detik a.k.a snapgram (instagram story), yang ada di dalam fitur aplikasi Instagram.

Hayo, kenapa sih bisa begitu?

Kalau menurut gua, inovasi lah yang menjadi efek besar bagi siklus perkembangan sosial media itu sendiri (Instagram contohnya). Sosial media pun berhasil jadi faktor kuat pengubah kebiasaan orang banyak sampai saat ini (Dalam rentan lima sampai tujuh tahun kebelakang). Karena, orang yang biasanya sering melakukan ‘sesuatu hal’ di luar ranah internet, jadi berubah kesehariannya ketika udah punya sosial media... Mungkin nggak semua, tapi kebanyakan begitu adanya. Makanya, alasan kenapa sosial media banyak yang berevolusi, kalau bagi gua karena mereka tau 'manusia' itu ternyata gila pengakuan di dunia maya.

Sama halnya, ketika rata-rata dari kita akhirnya masuk ke dalam kategori masa ALAY sebagai bentuk dari pencarian jati diri, sosial media secara nggak langsung turut menjadi bagian yang ‘menemani’ keseharian kaum ALAY. Menulis status, posting kegalauan, sharing segala hal yang nggak penting-penting amat, mengganti nama akun pribadi sosial media jadi aneh atau hal ALAY lainnya, rata-rata pernah dialami generasi remaja di Indonesia. Meski diwajarkan karena sedang mencari jati diri, tapi ketika sudah merasa nyaman berada dalam masa seperti itu, akibatnya akan berdampak besar terhadap mindset yang akan tercipta di masa mendatang.

Anak Gaul Masa Kini : “Lah, kok bisa? Emang apaansih efeknya? Heh, jangan sok tau deh lo!”

Patut diketahui, di masa pencarian jati diri, rata-rata manusia (Nggak semua ya) cenderung mencari sesuatu atau bahkan seseorang yang menurutnya pantas diikuti. Rasa penasaran lalu muncul dan terus-terusan bergejolak untuk mencari tahu ‘siapa sih diri kita yang sebenarnya?’

Gua sendiri pun pernah mengalami hal yang kayak gitu (Dulu). 

Jadi, ini adalah salah satu cerita gua waktu di SMA. Sampai pernah di satu waktu, saking gua mengikuti dan berteman dengan seseorang, gua dianggap sebagai hamba dari Tuhan yang sering gua sembah. Jadi, seseorang ini adalah teman gua sewaktu SMA, sebut aja “J”. Dia adalah sesosok manusia yang gua buntuti (Waktu itu) karena aura dan pengalamannya soal wanita.  Entah kenapa, si “J” ini gampang banget rasanya kenal dan deket sama wanita cantik, itulah yang membuat gua tertarik untuk membuntutinya demi tips and trick soal ‘percintaan’ (Malu-maluin nying). Dan kalau melihat semua penjelasan yang gua utarakan barusan, sungguh amat berbanding terbalik sama situasi yang gua alami sendiri saat itu (Cupu nying). Kocak sih, sampai-sampai gua pun sempat dianggap berhasil jadi hamba “J” yang paling sholeh di SMA karena nyari-nyariin si “J” mulu kalau masuk jam istirahat... Makanya, si “J” ini diperlihatkan sebagai Tuhan yang menuntun gua menjadi hamba yang baik sewaktu masih SMA.

Tapi itu dulu, dan untungnya gua bisa berbenah diri untuk menemukan solusi supaya bisa keluar dari masa ALAY gua sendiri... (Tetep aja itu tadi aib nying)

Eits, gak lepas dari hal di atas, gua punya satu asumsi.

Pernah gak sih berfikir, apa mungkin, kalau zaman dulu, Fir’aun adalah orang ALAY pertama yang pernah lahir di muka bumi ini dengan mengaku sebagai Tuhan (?)

Soalnya gua rasa, ambisi Fir’aun mengaku jadi Tuhan adalah cerminan dari pencarian jati dirinya sendiri yang berakhir dengan kegagalan. Karena disaat sedang mencari tahu ‘siapa jati dirinya yang sebenarnya’, menurut gua, Fir’aun justru menyerah dan langsung membuatnya berfikir jika kekuasaannya adalah bukti konkrit kalau dia pantas menjadi Tuhan.

“Gua orang kaya, gua banyak harta, dan semua rakyat gua keliatannya sih miskin. Fix kali ya gua bisa jadi Tuhan mereka” -Fir’aun

Untungnya di zaman Fir’aun, masih belum ada hal-hal eksis kayak semisal selfie, upload foto dsb. Gak kebayang deh gimana jadinya, kalau Fir’aun jadi orang ALAY versi zaman modern...

Mungkin temen gua tadi juga bisa jadi Fir’aun kaum milenial kali ya kalau ngaku dirinya sebagai Tuhan beneran...

(Oke skip)

Makanya, sama seperti apa yang gua bilang sebelumnya, masa ALAY punya dampak yang besar banget buat pola pikir kita kedepan. Dan buat mencegah itu semua, kita sendiri harus terlebih dulu mengetahui, ‘apa aja sih faktor masa ALAY?’.

Mengetahui Faktor Masa ALAY

Nah, dengan mengetahui sepenggal pengalaman sekaligus asumsi gua tadi, masa ALAY yang pernah kita rasakan dulu, menurut apa yang pernah gua lihat dan alami sendiri, bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu:

Faktor Gengsi

Faktor Status atau Pengakuan Sosial

Faktor Lingkungan

Mari bahas satu per satu.

Yang pertama, Faktor Gengsi. Berdasarkan pengalaman yang gua rasain, gengsi ini emang kental banget sama yang namanya gaya hidup seseorang. Soalnya, gengsi selalu menumbuhkan sesuatu yang nggak seharusnya dilakukan. Dalam hal ini, gengsi juga jadi salah satu faktor yang ada di masa ALAY. Karena, remaja ALAY biasanya memiliki keinginan besar untuk terlihat ‘lebih baik’ dari orang lain di sekitarnya. Contohnya begini, remaja ALAY biasanya memiliki keinginan lebih untuk jadi ‘HIGH CLASS’ di mata sesamanya, dan seringnya memilih-milih untuk soal pertemanan.

Menurut gua, hal ini perlahan menjadi sesuatu yang amat mainstream ketika para remaja ALAY justru terus melakukan hal yang sama supaya bisa menjadi seperti yang dicontohkan barusan. Karena gengsi datangnya dari diri sendiri, faktor ini biasanya muncul akibat suatu ego yang terlalu besar, dan lalu ego itu berhasil menguasai semua pikiran si remaja ALAY.

Anak Gaul Masa Kini : “Apaansih lebay amat, emang lo sendiri udah nggak ALAY hah?”

(Kalau mau tau definisi gengsi lebih dalam bisa di baca di sini : http://resahgaksih.blogspot.co.id/2017/07/gengsi-ku-tidak-semurah-gengsi-mu.html)

Kemudian ada Faktor Status atau Pengakuan Sosial. Ini adalah ‘poin penting’ yang biasanya paling diinginkan oleh setiap manusia. Remaja ALAY juga termasuk. Karena rata-rata dari mereka biasanya ingin menjadi yang ‘paling’ dilihat dari orang lain, bahkan dari sahabat atau teman terdekatnya sekalipun, maka faktor ini terlihat mirip kayak gengsi. Tapi faktor ini lebih parah, karena bagi gua ini adalah hal yang ‘sering’ jadi pengaruh pasif buat mental rata-rata remaja di Indonesia (yang ALAY doang). Permisalannya kayak remaja ALAY di zaman serba smarthphone ini yang mulai banyak, dan bahkan mahir dalam mengekspos dirinya sendiri entah itu di sosial media ataupun di lingkup sekitarnya.

Ambil contoh dari trennya snapgram atau instagram story. Rata-rata para remaja ALAY di periode sekarang, sering menunjukkan sesuatu yang berbau ‘pamer’ agar bisa dilihat baik oleh orang lain, bahkan bisa jadi itu semua sebenernya ‘nggak penting-penting amat’, kayak ngejelasin lagi makan apa, lauknya apa, minumnya pake es batu apa nggak, lagi ngapain dan sebagainya. Gua berbicara berdasarkan apa yang gua lihat selama ini, dan menurut gua sendiri hal kayak gini bisa jadi sebuah ‘kanker’ buat generasi muda di Indonesia (yang ALAY doang), karena nyatanya remaja ALAY banyak banget yang lakuin aktifitas kayak gini setiap hari.

Contoh lain yang juga ada sekarang ini adalah remaja ALAY biasanya punya keinginan diakui secara 'fana'. Coba tebak, ada berapa remaja ALAY yang sangat amat fanatik sama banyaknya jumlah follower dan like di Instagram? Gua pernah baca di kaskus ada yang pernah nyebut kalau ALAY di Indonesia ada empat juta orang. Banyak kan? Walau belum dibilang valid atau nggak datanya, tapi faktor pengakuan inilah yang bagi gua menjadi salah satu sebab kalau diri kita sebenarnya masih berada di masa ALAY. (Kalau termasuk fanatik, maka bersegeralah mandi besar dan taubat)

Anak Gaul Masa Kini : “Ih sotau kan... Sirik aja deh lo, biarin aja kali! Lo kalo iri bilang aja ya, jangan banyak bacot kayak soundtrack tahu bulet!”

Lalu yang terakhir Faktor Lingkungan. Bagi gua faktor ini adalah faktor yang paling vital. Karena apa? Faktor ini datangnya dari luar diri kita sendiri, dan nggak bisa dikontrol secara langsung. Lingkungan sejatinya adalah sumber yang nantinya bisa ngebentuk pola pikir, sikap dan respon kita terhadap sekitar. Ini adalah bukti nyata, karena gua sendiri merasakan efek tersebut.

Contohnya begini, ketika kita tau kalau diri kita punya satu potensi yang bisa dikembangin kedepannya, tapi di satu sisi, kita sadar bahwa kita berada di dalam lingkup yang orang-orangnya ‘nggak serius’. Lalu, ketika kita ingin mengembangkan potensi tersebut, secara nggak langsung justru malah terkubur karena potensinya sendiri akan dianggap sebagai bahan candaan atau bisa dibilang ‘nggak dihargai’ sama lingkungannya. Akibatnya, faktor ini bisa jadi penghambat tumbuh kembang pola pikir kita, kecuali... Diri kitanya sendiri yang bergerak keluar dari lingkungan tersebut, agar menemukan lingkungan baru yang bisa menerima potensi kita. Sekalipun dengan terpaksa harus meninggalkan suasana lingkungan lama yang emang udah dirasa nyaman.

Anak Gaul Masa Kini : “Ya terus nanti gua gapunya temen dong? Heh dasar lo penghasut, pemecah belah umat!”

(Hadeuh)

Maka, jangan pernah menyebut diri kita udah nggak ALAY deh kalau pada nyatanya keseharian kita masih dekat dengan ketiga faktor barusan (He he he).

***

Menerka Batas Masa ALAY

“Ya lo aja yang mikirnya lebay. Sekarang udah lewat kali zamannya masa ALAY. Bilang aja selama ini lo sirik kan sama orang-orang?”

“Yang mau eksis gua, ngapa lo yang ngurush sih?”

“Gua beli follower dari uang tabungan dan lo bilang itu ALAY, hah!?

Mungkin ada dari kita yang punya pemikirian kayak di atas. Tapi yang jelas, masing-masing dari kita itu berhak dapet suatu yang lebih positif dan bermanfaat dari masa pasca ALAY. Bahasan soal ALAY ini sebenernya sepele. Tapi, jadi nggak sepele lagi kalau bener-bener disepelekan. Bingung? (Sok misterius nying)

Jadi maksudnya, ketika banyak yang menganggap masa ALAY itu sebagai tahapan kita buat meraih kedewasaan, tapi karena masih merasa masa ALAY itu adalah sesuatu ‘hal biasa’ dan malah nyaman ada di masa ini, masa dewasa kita sendiri secara nggak langsung akan mengalami kemunduruan. Wah itu sangat berbahaya loh bung bagi pola pikir diri kita sendiri.

“Ya kan gua mengekspresikan diri di sosial media.“ 

“Namanya juga sosial media kan itu hak gua dong!“ 

“Sosoan tau segalanya amatsih kayak google maps!

Gua hanya beropini wahai kawan.

Kalau dari perspektif gua, solusi buat mengetahui semua hal ini adalah dengan mengenal sekaligus menata prioritas diri kita sendiri secara detail. Kenapa? Karena hal kayak gini nggak akan pernah ditemukan di masa ALAY. Kuncinya sih simpel, pahami semua kepentingan dan kebutuhan utama hidup kita. Tapi, geraknya yang sulit. Walaupun begitu, yang namanya proses atau transisi, pasti butuh waktu buat merubah masa ALAY jadi masa dewasa. Bagi gua, proses perkembangan dan pertumbuhan itu kayak main GAME, dan di setiap tahap-tahap prosesnya itu adalah levelnya. Masa ALAY termasuk level yang ada di dalam GAME tersebut. Makanya, kita semua emang udah seharusnya menyelesaikan level Masa ALAY untuk bisa masuk ke level selanjutnya, bukan malah ngulangin lagi levelnya.

Terakhir... Buat yang merasa berada di interval usia 19-21 tahun, masa-masa sulit pasti akan selalu menghadang di setiap momennya. Karena menjadi dewasa itu nggak serta-merta cuma menyikapi persoalan cinta, keluar dari masa ALAY adalah bentuk transisi utama yang udah seharusnya tumbuh di dalam diri kita masing-masing. Pun bagi yang sedang mencoba berubah ke arah positif, mencari potensi, bakat atau passion lah yang harusnya jadi prioritas utama setelah masa ALAY. 

Tapi, resiko dari itu semua adalah mungkin kita akan meninggalkan zona kenyamanan, lingkungan yang seru beserta hal 'enak' lainnya, dan emang nantinya pun akan amat sangat sulit untuk kita tinggal pergi. Tapi mau nggak mau, kalau kita punya niatan nyata untuk merubah itu semua, Tuhan pasti akan berikan jalan spesialnya.

Semoga dengan membaca tulisan ini, gua berharap kita semua bisa tau akan jalannya masing-masing untuk menjangkau masa dewasa yang lebih bermakna.




“Jauh lebih beda lebih baik daripada jauh lebih baik”
-Pandji Pragiwaksono-

You Might Also Like

2 komentar

Flickr Images