Saya Ngaku Kalau Saya Ternyata...

“Goblok!!!” Terdengar sebuah celetukan dari kendaraan di sebelah motor (Pinjeman) yang gua bawa ketika sedang berkunjung ke Jatinangor...

“Goblok!!!”

Terdengar sebuah celetukan dari kendaraan di sebelah motor (Pinjeman) yang gua bawa ketika sedang berkunjung ke Jatinangor. Sontak gua langsung terkejut dan mikir dalam hati.

“Ini siapa yang goblok ya? Penasaran.”

Setelah diusut, yang dibilang “Goblok” itu adalah gua sendiri. Secara spontan gua pun sadar kalau lampu sein gua ternyata nggak nyala sewaktu belok ke kanan sebelum kata “Goblok” itu keluar. Waduh, mendadak kacau sekali perasaan gua saat itu. Selama melanjutkan pejalanan, gua jadi termenung sekaligus mengakui kesalahan dan membayangkan apa yang terjadi kalau gua tertabrak.

“Goblok anjir, goblok... Kalau ketabrak, yang ganti motor ini siapa...”

“Dan kalau ketabrak terus diliatin orang banyak, nanti kasusnya jadi viral lagi... Ah goblok...”

“Abis viral, gua bisa jadi selebgram, anjir goblok...”

“Gua banyak haters dong, anjir anjir goblok...”

Semua hal yang bisa aja terjadi waktu itu, spontan mengisi bayangan negatif otak gua secara terus menerus. Sampai pada titik, di mana semua bayangan gua itu tadi justru melebar ke masalah-masalah “Goblok” gua di masa lampau.

Tiba-tiba, gua membayangkan momen-momen “Goblok” gua ketika masih alay dan suka meniru Naruto sewaktu di SMP. Lalu gua teringat kegoblokan gua karena pernah percaya Flat Earth dan menyebarluaskan fakta-fakta nggak valid ke teman-teman gua. Ada juga hal goblok yang gua lakukan ketika nggak pernah belajar saat ujian di semester satu kuliah karena menganggap kalau nilai yang diberikan oleh dosen itu pasti bagus-bagus. Sampai yang paling jijik adalah, gua membayangkan betapa gobloknya gua ketika tau kalau isi otak gua pernah 90% hanya melulu soal cewek. Ketika itu gua sempat jadi secret admirer seorang cewek dan mengirim bunga beserta surat embel-embel cinta dengan nama pengirim ‘Annonymous’. Fix, dulu gua cupu sekali.

Tapi walaupun begitu, berkat di-Goblok-in di jalan, secara nggak langsung gua merasa ditegasin sama sesuatu yang bisa membuat gua berintropeksi diri dengan merenungkan semua kegoblokan gua di masa lampau, dan menjadikan semua itu sebagai poin-poin penting guna merubah diri sendiri jadi lebih baik kedepannya. Bahkan, berkat hal ini juga, gua jadi bisa menyimpulkan ternyata ditegasin itu adalah salah satu cara efektif untuk menyadarkan seseorang dari kesalahannya.

Sebelum lanjut, sempat heran gak sih, kenapa kebanyakan orang merasa begitu susah buat mengakui kesalahannya? Apalagi orang yang nggak ngaku dan nggak sadar ini biasanya lebih memilih untuk menilai kesalahan orang lain ketimbang dirinya sendiri... Kacau gak sih?

Kadang bertindak tegas dan keras itu perlu loh untuk ngebuat orang-orang yang sulit menyadari kesalahannya supaya jadi sadar beneran. Meski nantinya akan sangat bergantung pada karakter orangnya itu sendiri, tapi kalau kelamaan nggak disadarin soal kesalahan yang telah dilakukan, orang tersebut akan memberi dampak yang bakal sering merugikan orang disekitarnya. Nggak percaya?

Contohnya simpel kok.

Pernah punya temen bau ketek?

Nah, biasanya temen kayak gini susah sadar sama bau keteknya sendiri, dan justru malah merugikan temannya yang lain karena bau keteknya itu. Asal kita tahu, temen bau ketek itu ibarat tetangga yang seneng dengerin musik dangdut pakai speaker keras di rumahnya. Mengganggu. Dan kalau kita ngasih tau mengenai hal itu, kemungkinan besar bisa jadi musuhan karena saling merasa nggak enak. Tapi biasanya, kita sendiri juga cenderung segan dan enggan sih untuk memberi tahu para pelaku perihal bau keteknya itu. Makannya, orang bau ketek itu masih terus ada sampai saat ini.

Gua sendiri sempat punya cerita soal temen bau ketek sewaktu SMA, dan akan gua kasih tau betapa mengerikannya hal tersebut.

Kenapa bisa begitu?

Karena di masa ini, ketek para siswa udah banyak yang bau gorong-gorong trotoar Jakarta. Bau ketek mereka udah bukan jenis bau ketek asem manis yang ada di zaman SD dulu. Baunya tuh mirip radiasi nuklir, karena bisa secara langsung mengkontaminasi otak kita jadi susah konsen untuk belajar. Dan bukan cuma kaum cowok aja yang punya bau Iblis ini, kaum cewek pun sama. Apalagi, gua tinggal di kota Cilegon  ̶ kota panas yang kalau jam 11 siang keluar rumah bisa seketika jadi turis dari Zambia ̶  kalau udah makin siang, makin menguap lah itu keringet yang ada di ketek, dan seketika jadi uap menyeramkan yang siap menikam hidung siapa aja. Bahaya banget deh ini baunya. Makanya, sangat wajib dianjurkan untuk para siswa memakai deodoran sebelum berangkat sekolah.

Pengalaman soal bau ketek ini sebenarnya gua alami sendiri selama tiga tahun di SMA. Tapi, gua akan mengambil satu momen yang paling menakjubkan diantara yang pernah terjadi selama tiga tahun lamanya itu. Satu momen menakjubkan ini terjadi saat gua udah menginjak kelas 12, tepatnya pada tahun 2015.

Jadi waktu itu, kalau nggak salah adalah hari batik nasional. Otomatis, pihak sekolah mewajibkan semua siswanya untuk memakai baju batik. Di hari itu, aktifitas di SMA gua menjadi sedikit bebas dari biasanya karena para guru, entah ada apa, mereka semua mengadakan rapat. Terasa senggang sekali keadaan hari itu, dan para siswa juga akhirnya banyak yang melakukan kegiatan masing-masing.

Nah, singkat cerita, gua dan teman sejawat saat itu ­ ̶ delapan orang ̶  sedang memainkan kartu remi (Poker) sembari bernyanyi-nyanyi ria nggak jelas dengan gitar usang yang ada di kelas. Selagi bermain, ternyata kegiatan itu menarik perhatian satu teman kelas gua yang lain, sebut aja ‘si karbol’, karena nyanyian kami waktu itu sangatlah aneh dan membuat dia tertawa. Seperti sok asik begitulah. Jadi, si karbol pun turut ikut berkumpul dan bermain di tempat kami. Lalu setelah selang 10-15 menit, secara tiba-tiba, kerumunan kami menjadi sedikit gaduh, dan parahnya, teman sejawat gua bubar satu per satu karena situasi berubah menjadi pengap. Selain pengap, ternyata eh ternyata, mereka semua pergi karena mencium bau tengik mengerikan di tempat itu. Entah apakah ada daki buto ijo ataupun ada bangkai penjajah Belanda di bawah lantai kelas gua, yang jelas jenis baunya sangatlah sulit teridentifikasi.

Tapi pasti paham kan bau apa itu?

Iya betul, bau KETEK nying.

Dikarenakan selama tiga tahun SMA gua sudah berpengalaman soal teman sekelas yang bau ketek, jadi gua bisa menyimpulkan jika jenis bau ketek saat itu adalah yang paling beda dan lebih mematikan daripada yang pernah tercium sebelumnya. Sudah dipastikan pasti terdakwanya adalah si karbol, dan memang dialah pelakunya selama ini. Si karbol pun sejatinya sudah di cap bau ketek oleh teman-teman sejawat gua, tapi kami tidak pernah bilang ke si karbol kalau dia itu bau ketek karena merasa tidak enakan.

Jika mengingat kembali masalahnya, suasana kerumunan kami sebelum datangnya si karbol ini sebenarnya sangatlah tenteram, damai, aman dan tentunya segar walaupun sedikit panas. Tapi ketika dia datang, kadar oksigen-oksigen di dekat kami menjadi hancur. Kala itu keadaan menjadi sedikit rusuh, dan banyak pula percakapan bisik-bisik beserta tuduhan random secara ghibah di keurmunan itu. Karena banyak yang bubar satu per satu, kerumunan gua dan teman sejawat juga hanya tersisa empat orang.

Akhirnya, karena udah merasa mual, gua pun berbisik kepada satu teman yang duduk di sebelah kanan gua, “Nyium bau aneh gak?”

Dia menjawab,”Iya nih, bau mayat kena azab kubur.”

“Lo pasti tau kan ini bau datangnya dari mana?” tanya gua lanjut sambil beribisik.

“Iya, itu dari si karbol kan? Emang dia...”

Jawaban teman gua terpotong oleh si karbol yang spontan bilang ke orang-orang yang ada di situ, “Eh bau apa ya ini? Anjir lah tengik banget.”

Seketika gua berbisik lagi ke teman gua yang ada di sebelah kanan tadi, “Bangsat, itu kan bau dia, kenapa nggak sadar sih!?”

“Gua juga gatau, idungnya udah kesumbat kali, yuk ah cabut dari sini, daripada kita mati konyol?” Jawab teman gua.

Kemudian teman gua itu pergi dari kerumunan. Ketika gua mau pergi juga, tiba-tiba si karbol menanyakan sesuatu kepada gua sambil menepuk bahu gua dan lalu tertawa, “Eh anjir baunya kecium gak kal? Untung gua udah tahan sama baunya. Kalau gua bisa nebak ini sih kayaknya bau ketek deh hahaha...”

“Eh... Eh... Iya ya bau ketek hehehe...” Jawab gua dengan gagapnya. Gua merasa kaget dan penasaran sembari menahan bau, kenapa dia masih terus-terusan nggak sadar ya? Padahal kan sumber baunya ada di ketek dia sendiri, dan wajar juga kalau dia bakal tahan sama baunya itu. Ingin sekali hati ini bicara kepadanya dan bilang, “Itu bau dari ketek lo. Coba lo cium terus lo renungin. Intropeksi, coba diinget lagi, yang lo pake waktu mau mandi itu air keran atau air saringan buah mengkudu?”

Pada akhirnya, gua pun paham kenapa bau ketek si karbol ini begitu tengik. Gua berkesimpulan, itu semua bisa terjadi karena si karbol nggak memakai pakaian dalam seperti kaos tipis –mungkin karena saat itu dia memakai baju batik dan merasa Cilegon sangat gerah ̶  yang sekiranya bisa menahan keringet agar tidak tembus ke baju batiknya. Apalagi, ketek si karbol juga nggak ada filternya. Uap keringet yang ada di ketek itu langsung keluar begitu saja dan bahkan berkolaborasi dengan oksigen di sekitar. Makannya, si karbol nggak merasa dirinya bau ketek karena yang dia cium itu adalah bau udara campuran yang ada di sekitarnya.

Tapi seperti yang gua bilang tadi, gua beserta teman sejawat nggak pernah bilang ataupun protes langsung perihal bau ketek si karbol. Bahkan, kami hanya mampu untuk menyindir secara halus seperti gestur tutup idung, pergi satu per satu dari kerumunan ataupun berteriak “Anjir bau Dajjal! Ini ketek siapa sih?” Sembari melirik-lirik muka si karbol. Tapi tetap saja, itu semua tidak membuatnya tersadar.

Makannya, orang bau ketek masih terus ada di sekitar gua selama tiga tahun, dan itu semua berakibat fatal karena nggak pernah ada orang yang berani menyadarkan mereka secara tegas perihal bau keteknya. Gua pun sampai sempat di diagnosis oleh Dokter ahli ‘Bau Badan dan Perkara Keringat Ketek’, bahwa tubuh gua udah nggak bisa lagi menumbuhkan bulu hidung seumur hidup karena telah menjadi pengidap bau ketek pasif selama tiga tahun. Pelik sekali bukan?

***

Cerita gua semua itu hanyalah gambaran yang menunjukkan betapa mengesalkannya orang yang nggak sadar akan kesalahannya. Karena jika bercermin pada realita, banyak yang lebih parah daripada persoalan bau ketek. Terlebih lagi, di periode sekarang, banyak sekali manusia yang mencari kesalahan orang lain demi sebuah keuntungan dan ketenaran tanpa melihat kesalahan dirinya sendiri terlebih dahulu. Jadi, orang yang tidak sadar akan kesalahannya ini sebenarnya hanya butuh sesuatu yang bisa menjadi “penusuk” akal, hati serta perasaannya agar bisa tersadar di kemudian hari. Seperti sebuah teori yang menjelaskan bahwa “kegelapan itu terjadi karena diakibatkan oleh tidak adanya cahaya,” dengan begitu kita semua hanya butuh sedikit “cahaya” untuk menerangi “kegelapan” dari persoalan ini.

Maksudnya adalah, mendapati sebuah solusi.

Menurut gua, hanya ada dua solusi untuk hal tersebut. Yaitu dengan INTROPEKSI dan DITEGASIN. Kedua hal ini mempunya peran penting untuk me-sugesti otak dan hati kita guna lebih peka terhadap semua yang sudah terjadi.

Dengan INTROPEKSI, kita sendiri jadi lebih bisa mengingat dan mengulik apa saja yang telah kita lakukan selama ini. Biasanya, saat berintropeksi jiwa kita juga jauh lebih tenang dan lebih mudah untuk mengakui kesalahan yang pernah kita lakukan. Meski belum menjamin untuk menahan sesorang dari melakukan kesalahan yang sama, setidaknya INTROPEKSI adalah suatu hal yang seharusnya lebih banyak dilakukan manusia di periode sekarang, daripada harus mencari kesalahan orang lain demi menutup kesalahannya sendiri.

Lalu dengan DITEGASIN, seseorang juga bakal merasa “tertusuk” dan terdesak karena kesalahannya itu diperjelas dengan tegas oleh orang lain. DITEGASIN berarti ada sesuatu yang membuat seseorang merasa tersadar secara spontan, tanpa basa-basi dan langsung merujuk pada pernyataan “Selama ini yang lo lakuin itu salah, jadi tolong lah sadar, soalnya hal yang lo lakuin ini sangat berpengaruh negatif sama orang lain yang ada di sekitar lo.” Dengan begitu, 70% perasaan yang menyadari kalau dirinya salah akan muncul, meski biasanya, 30% dari sisanya itu akan menjadi sebuah pembelaan yang berujung pada perdebatan.

Memang pada dasarnya kedua solusi ini belum 100% bisa berhasil membuat sesorang berubah, tapi setidaknya, sebuah kesadaran yang ditumbuhkan setelahnya bisa menjadi hal positif untuk seseorang yang memang ingin berubah menjadi lebih baik. Itulah mengapa, suatu proses kembali dibutuhkan dalam masalah ini. Kadang, rata-rata dari seseorang akan kebanyakan berharap “Gua mau berubah” tanpa mau menerima sebuah proses. Padahal, justru proses itulah yang akan membawa seseorang untuk bisa berubah.

Coba pikir lagi, apa iya hanya dengan ngomong doang kita bakal berubah seketika? Ya nggak kan...

Begini, para ilmuan dan orang sukses yang telah membuat sebuah penemuan pun banyak yang mengakui kesalahannya. Contohnya seperti Nicola Telsa, Larry Page, Elon Musk, Henry Ford, dan Jack Ma, mereka semua itu intelektual loh, tapi mereka masih mau untuk berintropeksi dan mungkin mendapati hal tegas dari sesamanya saat membuat sebuah penemuan yang hasilnya bisa kita nikmati dengan nyamannya sampai sekarang. Kalau mereka semua nggak menerima kesalahannya dan nggak berusaha memperbaiki semua itu, mungkin penemuannya juga nggak akan dipakai sampai sekarang.

Hayo, masa kita sebagai manusia biasa yang sama seperti mereka nggak bisa sih untuk mengakui  dan memperbaiki sebuah kesalahan?

Maka dari itu, dengan memulai untuk sadar akan kesalahan kita masing-masing, itu artinya sebuah proses ‘sedang datang menghampiri’ untuk membawa kita melakukan sesuatu yang jauh lebih baik dari sebelumnya.



“Intropeksi adalah cara terbaik untuk mendapati sebuah resolusi.”

-Penulis-

You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images