Mind
Sharing With Human 04: Underestimate & Lima Huruf yang Tak Boleh Disebut
8:41 PMTeruntuk yang (masih merasa) mahasiswa, gua akan sedikit
(sosoan) memberikan pengalaman yang pernah gua dapatkan soal mengenali ‘makna
hidup’ untuk pertama kali...
Di era awal kuliah (yang gua rasain lebih tepatnya pada 2015)
yang namanya ‘survive’ itu terlihat
sangat begitu menonjol. Terutama soal masalah pengeluaran uang. Karena
pemakaian uang di era kuliah, nggak bisa sembarangan. Tapi, hal seperti ini
nggak berlaku untuk gua di era awal kuliah. Sampai pernah di satu waktu, karena
ceroboh dan terbawa nafsu dalam perhitungan ketika membeli gadget baru, gua pernah survive
dengan bertahan hidup hanya dengan uang 500 ribu dari awal bulan. Dan itu pun,
100 ribu dari 500 ribu uang gua di rekening, nggak boleh diambil karena
kebijakan dari banknya. Mau nggak mau, gua harus rela makan 10 ribu per hari
(beli tempe tahu plus nasi uduk) supaya masih bisa hidup sampai bulan
berikutnya.
Meski pada akhirnya, semua cara itu nggak berhasil dan
membuat gua terpaksa ngutang ke
banyak orang. Nggak nanggung-nanggung, dengan keterbatasan yang gua rasakan
waktu itu, gua meminjam uang sampai ke 10 orang teman. Kalau dibayangin, jumlah
total utang yang gua dapatkan juga bisa dibilang terlalu besar bagi kantung
mahasiswa. Kemudian gua berfikir, walau nantinya gua punya uang dari hasil
pinjaman di bulan ini, tapi bulan berikutnya gua terpaksa harus memangkas
sebagian besar uang bulanan demi bisa membayar utang. Maka sudah terlihat
sangat jelas sekali bagaimana penderitaan keuangan gua kala itu.
Nggak sedikit yang merasa iba saat melihat apa yang gua makan
kala itu. Mungkin, mereka iba pun karena ditambah melihat fisik gua yang kurus
kering tanpa alis, seperti layaknya bocah kelaparan korban perang. Sampai-sampai,
gua sempat disarankan untuk meminta uang tambahan kepada orangtua. Tapi... Tetap
aja, gua mau menyelesaikan persoalan ini sendiri. Bukan karena ‘sok’, tapi karena
yang gua rasain ini bukanlah suatu kondisi di mana terdapat kepentingan di
dalamnya, melainkan sebuah kesalahan bodoh dalam mengambil keputusan yang gua
lakukan tanpa melihat konsekuensinya.
Kendati begitu, entah insting atau memang sudah waktunya, sejalan
dengan situasi yang gua alami, otak gua perlahan-lahan bisa digunakan sebagaimana
mestinya. Gua akhirnya berprinsip bahwa sejatinya penderitaan itu adalah
dimensi tersendiri yang harus bisa diatasi setiap individu. Nggak cuma harus
bisa diatasi, gua pun menganggap bahwa penderitaan yang gua rasakan waktu itu
adalah sebuah ‘makna hidup’.
Jangan heran, sebelumnya gua sangat dikenal sebagai orang
yang pelit, kikir, medit dan berlabel orang yang nggak pantas ‘diutangin’. Karena dulu, untuk persoalan
duit 10 ribu aja, gua nggak rela kalau dibayarnya besok. Maka sangat amat wajar
kenapa gua dikasih penderitaan seperti itu sama Allah. Ya so pasti, biar sadar. Tapi setalahnya, gua secara langsung bisa memahami
apa artinya ‘makna hidup’ dengan belajar untuk lebih menghemat pengeluaran uang
dan belajar untuk saling berbagi kepada sesama. Bisa dibilang, ‘sebuah
perubahan’ terjadi setelah penderitaan pelik tersebut.
Meskipun memang penderitaan gua sebenarnya nggak seberapa jika
dibanding dengan saudara-saudara kita sesama manusia di Suriah, Palestina
ataupun Rohingya, yang terpojok dan dibantai oleh kaum laknat yang nggak tau
arti kemanusiaan. Tapi dengan melihat mereka, penderitaan yang pernah gua
rasakan itu berhasil menjadikan diri gua lebih bersyukur dan paham seberapa berharganya
‘makna hidup’ itu bagi kehidupan gua sendiri.
Jadi seperti itulah ‘makna hidup’ yang gua rasakan untuk
pertama kali, dan bagi gua, pengalaman ini menjadi bukti nyata betapa
pentingnya mengenali dan paham soal ‘makna hidup’ bagi kehidupan kita
sehari-hari...
Tapi... Pada kenyataannya, nggak jarang manusia lupa, dan justru
malah meremehkan arti ‘makna hidup’. Termasuk gua sendiri (dulu). Dengan berdalih
paling tau segalanya, terkadang manusia juga banyak yang mengabaikan sumber
kebaikan tanpa meresapinya terlebih dahulu. Maka nggak heran, setidaknya dalam
satu hari, kita selalu melihat ada satu manusia yang merasa tinggi dan meremehkan
manusia lainnya. Entah apa itu penyebabnya, gua merasa hal seperti ini patut
sekali untuk dibahas.
Tapi sebelum itu, pernah terpikir nggak di dalam otak kita
masing-masing sebuah pertanyaan: “seberapa
angkuhnya diri kita?”
Jujur, pasti sulit sekali menjawab pertanyaan tersebut dengan
sikap yang tulus. Diri gua sendiri juga termasuk yang pernah mempunyai respon
demikian. Karena sejatinya rata-rata dari manusia itu masih banyak yang memiliki
rasa ‘gengsi’ besar untuk berintropeksi. Bahkan, sebagian dari manusia itu
sendiri lebih mudah untuk memilih menilai sesuatu yang dilihatnya ketimbang
sesuatu yang dimilikinya. Nggak heran, itulah mengapa masih banyak orang yang
punya sifat Underestimate (meremehkan)
dalam menyikapi sesuatu.
Secara umum, yang namanya ‘makna hidup’ itu tumbuh
berdasarkan tingkat kepekaan perasaan kita masing-masing, dan nggak akan muncul
kalau kitanya sendiri masih belum punya rasa empati kuat dalam kehidupan
sehari-hari. Maka menjadi wajar kalau sebagian besar manusia masih banyak yang
belum paham soal hal ini, karena memang pada dasarnya tingkat kepekaan
perasaannya juga masih belum terbentuk secara signifikan.
Secara jelasnya, menurut Viktor Frankl (pakar neurolog dan
psikiater), ‘makna hidup’ lebih dari sekedar kalimat yang memiliki arti. Deskripsi
‘makna hidup’ lebih dari itu. ‘Makna hidup’ adalah kesadaran akan adanya suatu
kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas. ‘Makna hidup’
adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga, dan
diyakini sebagai sesuatu yang besar serta dapat dijadikan tujuan hidup. Maka
takarannya adalah ‘mengerti atau tidaknya kita soal situasi kondisi yang sedang
terjadi’. Entah itu dirasakan lewat diri kita secara langsung ataupun lewat
orang lain.
Sedangkan sifat Underestimate yang telah gua sebut
tadi lebih menunjukkan respon yang sebaliknya. Sifat Underestimate itu
menggambarkan ketidakpahaman kita, atau mungkin juga ketidakpedulian kita untuk
tau situasi kondisi yang sedang terjadi. Semua hal ditanggapi dengan respon
yang remeh. Maka itulah mengapa pemahaman ‘makna hidup’ dan sifat Underestimate
nggak akan pernah bisa disatukan dalam kehidupan kita. Secara harfiah,
kedua poin ini nggak ‘konek’, persis kayak putusnya hubungan dengan mantan
calon gebetan yang direbut sama dosen sendiri.
Pusing?
Nggak usah jauh-jauh deh
ngebayanginnya, di sekitar kita aja.
Sadar nggak sih kalau selama ini kebiasaan
(rata-rata) orang Indonesia itu adalah sulit untuk menerima hal baik?
Kalau nggak percaya gua punya satu
bukti. Coba klik link di bawah ini dan baca artikelnya.
Dan gambar di bawah ini adalah
salah satu penjelasan yang mendeskripsikan kenapa banyak diantara orang
Indonesia sering mencari hal buruk diantara hal baik yang ada dari sebuah kabar
baik.
Maka jangan kaget kalau sangat lumrah
sekali rasanya mengapa di sekitar kita masih begitu banyak manusia yang punya
sifat meremehkan terhadap sesama. Sebenarnya, menjadi suatu respon yang nggak
wajar kan kalau dasar pengertian kita merujuk pada kebiasaan kayak gitu...
Masa iya sih, ketika ada orang yang
berlabel kurang baik tiba-tiba megajak kita untuk beribadah, tapi karena kita
tau orang tersebut pernah mencuri (misalnya), apakah kita masih tetap berprinsip
untuk nggak bisa menerima ajakan baik tersebut?
Inilah bukti dan alasan kenapa pemahaman
akan ‘makna hidup’ itu sangat penting. Bagi gua sendiri, selama sebuah
perkataan itu baik untuk kita, perihal orang yang menyampaikannya adalah orang
baik atau bukan, sebenarnya hal seperti itu nggak akan jadi masalah. Karena
yang seharusnya diambil adalah perkataan baiknya, bukan orangnya. Kalau yang
kita ‘ambil orangnya’, itu berarti kita adalah penculik.
Oke kesimpulan yang garing.
Nah kalau kita sadar, sifat Underestimate ini sebenarnya bisa mengarahkan
seseorang ke dalam cara berfikir sombong. Hal ini bisa tercipta secara nggak
sadar, akibat sebuah respon remeh yang muncul ketika menyikapi sesuatu itu tadi.
Dengan begitu, cara berfikir sombong inilah yang pada akhirnya membawa
seseorang menganggap dirinya mempunyai ‘strata atau kelas’ dihadapan orang lain.
Kenapa gua bisa berkesimpulan seperti itu?
Menurut buku How The
World Works yang ditulis oleh Noam Chomsky, dikutip bahwa sifat dasar
manusia yang sebenarnya terpampang nyata adalah keharusan memiliki ‘citra diri’.
Dengan citra diri ini, manusia jadi lebih mudah untuk menganggap remeh dan memberikan
label kepada setiap orang yang dilihatnya. Dan ternyata, kondisi lingkungan dari
manusia itu sendiri juga menjadi satu aspek yang mempengaruhi bentuk dari citra
dirinya. Akibatnya, timbul lah sesuatu yang mendorong mereka untuk memunculkan
satu anggapan yang disebut oleh Noam Chomsky dengan sebutan Lima Huruf yang Tak Boleh Disebut, yaitu
‘kelas’.
Jadi, wajar aja kalau orang yang menganggap dirinya memiliki
strata atau kelas dihadapan orang lain itu sebenarnya adalah satu bagian respon
yang datangnya dari sifat Underestimate. Bahkan, periode
sekarang bisa menjawab kenyataan tersebut. Ambil aja contohnya kebiasaan dan
karakteristik pengguna sosial media (terutama di Indonesia). Bukan mau
menjustifikasi, tapi di periode sekarang inilah sebagian besar orang jadi
terlihat seperti menjadi social media
addict. Terlepas dari konteks berkarya, marketing ataupun dakwah,
penggunaan sosial media sekarang lebih mencerminkan manusia yang sering
menonjolkan sisi pamer akan citra dirinya masing-masing ketimbang cara bersosialnya.
Mungkin memang masih rancu dan abu-abu untuk mengetahui benar
atau tidaknya secara mutlak, tapi yang jelas, dengan indikasi pamer tersebut setidaknya
sudah sedikit tertera bahwa manusia periode sekarang ini lebih ingin dianggap bahwa
mereka memiliki kelasnya masing-masing. Gua sendiri sempat melakukan observasi
melalui diskusi dengan lima orang teman perempuan dan dua teman laki-laki soal
hal ini, sebagai sarana gua untuk mengetahui data serta fakta yang lebih valid lewat
berbagai sudut pandang.
Gua pun menanyakan beberapa pertanyaan soal seperti apa
pandangan mereka terhadap sosial media, dan satu platform yang gua fokuskan
adalah Instagram. Sebagian pernyataan yang terlontar dari mereka, berhasil menggambarkan
secara umum bahwa sosial media saat ini bukanlah ranah untuk bersosial secara
nyata. Jawaban mereka semua sama, dan jelas mendeskripsikan kalau Instagram
jadi salah satu sosial media yang sudah menjadi sumber persoalan yang
menyangkut munculnya ‘kelas dan strata’ dalam kehidupan bersosial. Bahkan, satu
teman perempuan gua melontarkan sebuah ungkapan jika Instagram itu adalah sumber
‘penyakit hati’ yang secara nggak langsung muncul akibat sisi pamer dari para
penggunanya.
Wajar dikatakan kalau ‘sisi pamer’ itu telah menggambarkan
bagaimana indikasi cara berfikir sombong sangat terpampang nyata di sebagian besar
kebiasaan pengguna Instagram. Dan balik lagi, karena pada dasarnya sifat Underestimate
mengarahkan seseorang untuk berfikir sombong, maka hal seperti ini membuktikan
kalau ‘sisi pamer’ memang sangat amat terkoneksi dengan sifat Underestimate-nya itu
sendiri.
Dan ternyata eh ternyata, perasaan gengsi, gengsi dan gengsi dari
seseorang jadi poin tambahan utama munculnya kebiasaan pamer di kalangan rata-rata
pengguna sosial media (khususnya Instagram) di periode sekarang. Bahkan, nggak
sedikit juga pengguna Instagram yang punya perasaan jaim, jaim dan jaim, yang
sering sekali digunakan sebagai senjata ampuh untuk membangun sebuah citra diri
berupa ‘label orang baik’ di mata para teman dunia mayanya. Kelas demi kelas
makin transparan untuk ditunjukan ke semua orang. Makanya nggak heran kalau
manusia satu bumi pengguna Instagram itu seolah-olah semuanya terlihat menjadi
orang yang kaya. Malah persis tergambarkan seperti nggak ada orang yang miskin
di Instagram.
Tapi, penjelasan ini nggak serta-merta merepresentasikan
semua orang pengguna sosial media itu persis seperti apa yang gua bilang
barusan. Penjelasan tadi hanya menggambarkan satu contoh yang sekiranya ‘keliatan’
di periode sekarang. Karena sebenarnya masih terdapat juga sebagian manusia
lainnya yang tetap menggunakan sosial media sebagai sarana yang sewajarnya.
Yang jelas, Underestimate dan anggapan diri
punya ‘kelas dan strata’ sosial itu, merupakan bentuk suatu kesombongan dari
manusia. Sombong itu berarti menganggap diri sendiri jauh lebih baik daripada
orang lain, dan menganggap orang lain sebagai objek remeh yang dipandang
sebelah mata. Sikap sombong itu berarti memandang diri sendiri berada di atas
kebenaran, dan merasa sempurna dengan memandang diri sendiri berada di atas
orang lain.
Wah, jelas bagi gua sifat seperti ini merupakan tindakan yang
nggak baik. Menurut agama Islam, sombong juga merupakan sifat tercela, dan tertera
jelas di Al-Qur’an kalau sombong itu merupakan satu sifat yang sangat dilarang
untuk dimilki kaum muslim. Bahkan, Allah SWT secara jelas mengatakan dengan berfirman
dalam surat Luqman ayat ke-18 yang artinya:
“Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
Sombong itu adalah penghalang pintu kebaikan hati. Hal
seperti inilah yang juga membuat cara bersosial kita perlahan luntur. Maka sekali
lagi, itulah mengapa pentingnya pemahaman ‘makna hidup’ untuk kehidupan kita
sehari-hari. ‘Makna hidup’ itu bukan hanya sebagai penghargaan atas situasi
kondisi apa yang sedang kita alami, melainkan lebih dari itu. Karena ‘makna
hidup’ itu juga merupakan celah mudah bagi kita guna terhindar dari sifat Underestimate.
“Yang namanya kebenaran itu tak selalu se-romantis
kelihatannya”
-Andrea Pirlo-
0 komentar