Sharing With Human 04: Underestimate & Lima Huruf yang Tak Boleh Disebut

Teruntuk yang (masih merasa) mahasiswa, gua akan sedikit (sosoan) memberikan pengalaman yang pernah gua dapatkan soal mengenali ‘makna hidup...

Teruntuk yang (masih merasa) mahasiswa, gua akan sedikit (sosoan) memberikan pengalaman yang pernah gua dapatkan soal mengenali ‘makna hidup’ untuk pertama kali...



Di era awal kuliah (yang gua rasain lebih tepatnya pada 2015) yang namanya ‘survive’ itu terlihat sangat begitu menonjol. Terutama soal masalah pengeluaran uang. Karena pemakaian uang di era kuliah, nggak bisa sembarangan. Tapi, hal seperti ini nggak berlaku untuk gua di era awal kuliah. Sampai pernah di satu waktu, karena ceroboh dan terbawa nafsu dalam perhitungan ketika membeli gadget baru, gua pernah survive dengan bertahan hidup hanya dengan uang 500 ribu dari awal bulan. Dan itu pun, 100 ribu dari 500 ribu uang gua di rekening, nggak boleh diambil karena kebijakan dari banknya. Mau nggak mau, gua harus rela makan 10 ribu per hari (beli tempe tahu plus nasi uduk) supaya masih bisa hidup sampai bulan berikutnya.

Meski pada akhirnya, semua cara itu nggak berhasil dan membuat gua terpaksa ngutang ke banyak orang. Nggak nanggung-nanggung, dengan keterbatasan yang gua rasakan waktu itu, gua meminjam uang sampai ke 10 orang teman. Kalau dibayangin, jumlah total utang yang gua dapatkan juga bisa dibilang terlalu besar bagi kantung mahasiswa. Kemudian gua berfikir, walau nantinya gua punya uang dari hasil pinjaman di bulan ini, tapi bulan berikutnya gua terpaksa harus memangkas sebagian besar uang bulanan demi bisa membayar utang. Maka sudah terlihat sangat jelas sekali bagaimana penderitaan keuangan gua kala itu.

Nggak sedikit yang merasa iba saat melihat apa yang gua makan kala itu. Mungkin, mereka iba pun karena ditambah melihat fisik gua yang kurus kering tanpa alis, seperti layaknya bocah kelaparan korban perang. Sampai-sampai, gua sempat disarankan untuk meminta uang tambahan kepada orangtua. Tapi... Tetap aja, gua mau menyelesaikan persoalan ini sendiri. Bukan karena ‘sok’, tapi karena yang gua rasain ini bukanlah suatu kondisi di mana terdapat kepentingan di dalamnya, melainkan sebuah kesalahan bodoh dalam mengambil keputusan yang gua lakukan tanpa melihat konsekuensinya.

Kendati begitu, entah insting atau memang sudah waktunya, sejalan dengan situasi yang gua alami, otak gua perlahan-lahan bisa digunakan sebagaimana mestinya. Gua akhirnya berprinsip bahwa sejatinya penderitaan itu adalah dimensi tersendiri yang harus bisa diatasi setiap individu. Nggak cuma harus bisa diatasi, gua pun menganggap bahwa penderitaan yang gua rasakan waktu itu adalah sebuah ‘makna hidup’.

Jangan heran, sebelumnya gua sangat dikenal sebagai orang yang pelit, kikir, medit dan berlabel orang yang nggak pantas ‘diutangin’. Karena dulu, untuk persoalan duit 10 ribu aja, gua nggak rela kalau dibayarnya besok. Maka sangat amat wajar kenapa gua dikasih penderitaan seperti itu sama Allah. Ya so pasti, biar sadar. Tapi setalahnya, gua secara langsung bisa memahami apa artinya ‘makna hidup’ dengan belajar untuk lebih menghemat pengeluaran uang dan belajar untuk saling berbagi kepada sesama. Bisa dibilang, ‘sebuah perubahan’ terjadi setelah penderitaan pelik tersebut.

Meskipun memang penderitaan gua sebenarnya nggak seberapa jika dibanding dengan saudara-saudara kita sesama manusia di Suriah, Palestina ataupun Rohingya, yang terpojok dan dibantai oleh kaum laknat yang nggak tau arti kemanusiaan. Tapi dengan melihat mereka, penderitaan yang pernah gua rasakan itu berhasil menjadikan diri gua lebih bersyukur dan paham seberapa berharganya ‘makna hidup’ itu bagi kehidupan gua sendiri.

Jadi seperti itulah ‘makna hidup’ yang gua rasakan untuk pertama kali, dan bagi gua, pengalaman ini menjadi bukti nyata betapa pentingnya mengenali dan paham soal ‘makna hidup’ bagi kehidupan kita sehari-hari...


Tapi... Pada kenyataannya, nggak jarang manusia lupa, dan justru malah meremehkan arti ‘makna hidup’. Termasuk gua sendiri (dulu). Dengan berdalih paling tau segalanya, terkadang manusia juga banyak yang mengabaikan sumber kebaikan tanpa meresapinya terlebih dahulu. Maka nggak heran, setidaknya dalam satu hari, kita selalu melihat ada satu manusia yang merasa tinggi dan meremehkan manusia lainnya. Entah apa itu penyebabnya, gua merasa hal seperti ini patut sekali untuk dibahas.

Tapi sebelum itu, pernah terpikir nggak di dalam otak kita masing-masing sebuah pertanyaan: “seberapa angkuhnya diri kita?

Jujur, pasti sulit sekali menjawab pertanyaan tersebut dengan sikap yang tulus. Diri gua sendiri juga termasuk yang pernah mempunyai respon demikian. Karena sejatinya rata-rata dari manusia itu masih banyak yang memiliki rasa ‘gengsi’ besar untuk berintropeksi. Bahkan, sebagian dari manusia itu sendiri lebih mudah untuk memilih menilai sesuatu yang dilihatnya ketimbang sesuatu yang dimilikinya. Nggak heran, itulah mengapa masih banyak orang yang punya sifat Underestimate (meremehkan) dalam menyikapi sesuatu.

Secara umum, yang namanya ‘makna hidup’ itu tumbuh berdasarkan tingkat kepekaan perasaan kita masing-masing, dan nggak akan muncul kalau kitanya sendiri masih belum punya rasa empati kuat dalam kehidupan sehari-hari. Maka menjadi wajar kalau sebagian besar manusia masih banyak yang belum paham soal hal ini, karena memang pada dasarnya tingkat kepekaan perasaannya juga masih belum terbentuk secara signifikan.

Secara jelasnya, menurut Viktor Frankl (pakar neurolog dan psikiater), ‘makna hidup’ lebih dari sekedar kalimat yang memiliki arti. Deskripsi ‘makna hidup’ lebih dari itu. ‘Makna hidup’ adalah kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas. ‘Makna hidup’ adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga, dan diyakini sebagai sesuatu yang besar serta dapat dijadikan tujuan hidup. Maka takarannya adalah ‘mengerti atau tidaknya kita soal situasi kondisi yang sedang terjadi’. Entah itu dirasakan lewat diri kita secara langsung ataupun lewat orang lain.

Sedangkan sifat Underestimate yang telah gua sebut tadi lebih menunjukkan respon yang sebaliknya. Sifat Underestimate itu menggambarkan ketidakpahaman kita, atau mungkin juga ketidakpedulian kita untuk tau situasi kondisi yang sedang terjadi. Semua hal ditanggapi dengan respon yang remeh. Maka itulah mengapa pemahaman ‘makna hidup’ dan sifat Underestimate nggak akan pernah bisa disatukan dalam kehidupan kita. Secara harfiah, kedua poin ini nggak ‘konek’, persis kayak putusnya hubungan dengan mantan calon gebetan yang direbut sama dosen sendiri.

Pusing?

Nggak usah jauh-jauh deh ngebayanginnya, di sekitar kita aja.

Sadar nggak sih kalau selama ini kebiasaan (rata-rata) orang Indonesia itu adalah sulit untuk menerima hal baik?

Kalau nggak percaya gua punya satu bukti. Coba klik link di bawah ini dan baca artikelnya.


Dan gambar di bawah ini adalah salah satu penjelasan yang mendeskripsikan kenapa banyak diantara orang Indonesia sering mencari hal buruk diantara hal baik yang ada dari sebuah kabar baik.


Maka jangan kaget kalau sangat lumrah sekali rasanya mengapa di sekitar kita masih begitu banyak manusia yang punya sifat meremehkan terhadap sesama. Sebenarnya, menjadi suatu respon yang nggak wajar kan kalau dasar pengertian kita merujuk pada kebiasaan kayak gitu...

Masa iya sih, ketika ada orang yang berlabel kurang baik tiba-tiba megajak kita untuk beribadah, tapi karena kita tau orang tersebut pernah mencuri (misalnya), apakah kita masih tetap berprinsip untuk nggak bisa menerima ajakan baik tersebut?


Inilah bukti dan alasan kenapa pemahaman akan ‘makna hidup’ itu sangat penting. Bagi gua sendiri, selama sebuah perkataan itu baik untuk kita, perihal orang yang menyampaikannya adalah orang baik atau bukan, sebenarnya hal seperti itu nggak akan jadi masalah. Karena yang seharusnya diambil adalah perkataan baiknya, bukan orangnya. Kalau yang kita ‘ambil orangnya’, itu berarti kita adalah penculik.

Oke kesimpulan yang garing.

Nah kalau kita sadar, sifat Underestimate ini sebenarnya bisa mengarahkan seseorang ke dalam cara berfikir sombong. Hal ini bisa tercipta secara nggak sadar, akibat sebuah respon remeh yang muncul ketika menyikapi sesuatu itu tadi. Dengan begitu, cara berfikir sombong inilah yang pada akhirnya membawa seseorang menganggap dirinya mempunyai ‘strata atau kelas’ dihadapan orang lain.

Kenapa gua bisa berkesimpulan seperti itu?

Menurut buku How The World Works yang ditulis oleh Noam Chomsky, dikutip bahwa sifat dasar manusia yang sebenarnya terpampang nyata adalah keharusan memiliki ‘citra diri’. Dengan citra diri ini, manusia jadi lebih mudah untuk menganggap remeh dan memberikan label kepada setiap orang yang dilihatnya. Dan ternyata, kondisi lingkungan dari manusia itu sendiri juga menjadi satu aspek yang mempengaruhi bentuk dari citra dirinya. Akibatnya, timbul lah sesuatu yang mendorong mereka untuk memunculkan satu anggapan yang disebut oleh Noam Chomsky dengan sebutan Lima Huruf yang Tak Boleh Disebut, yaitu ‘kelas’.

Jadi, wajar aja kalau orang yang menganggap dirinya memiliki strata atau kelas dihadapan orang lain itu sebenarnya adalah satu bagian respon yang datangnya dari sifat Underestimate. Bahkan, periode sekarang bisa menjawab kenyataan tersebut. Ambil aja contohnya kebiasaan dan karakteristik pengguna sosial media (terutama di Indonesia). Bukan mau menjustifikasi, tapi di periode sekarang inilah sebagian besar orang jadi terlihat seperti menjadi social media addict. Terlepas dari konteks berkarya, marketing ataupun dakwah, penggunaan sosial media sekarang lebih mencerminkan manusia yang sering menonjolkan sisi pamer akan citra dirinya masing-masing ketimbang cara bersosialnya.

Mungkin memang masih rancu dan abu-abu untuk mengetahui benar atau tidaknya secara mutlak, tapi yang jelas, dengan indikasi pamer tersebut setidaknya sudah sedikit tertera bahwa manusia periode sekarang ini lebih ingin dianggap bahwa mereka memiliki kelasnya masing-masing. Gua sendiri sempat melakukan observasi melalui diskusi dengan lima orang teman perempuan dan dua teman laki-laki soal hal ini, sebagai sarana gua untuk mengetahui data serta fakta yang lebih valid lewat berbagai sudut pandang.

Gua pun menanyakan beberapa pertanyaan soal seperti apa pandangan mereka terhadap sosial media, dan satu platform yang gua fokuskan adalah Instagram. Sebagian pernyataan yang terlontar dari mereka, berhasil menggambarkan secara umum bahwa sosial media saat ini bukanlah ranah untuk bersosial secara nyata. Jawaban mereka semua sama, dan jelas mendeskripsikan kalau Instagram jadi salah satu sosial media yang sudah menjadi sumber persoalan yang menyangkut munculnya ‘kelas dan strata’ dalam kehidupan bersosial. Bahkan, satu teman perempuan gua melontarkan sebuah ungkapan jika Instagram itu adalah sumber ‘penyakit hati’ yang secara nggak langsung muncul akibat sisi pamer dari para penggunanya.

Wajar dikatakan kalau ‘sisi pamer’ itu telah menggambarkan bagaimana indikasi cara berfikir sombong sangat terpampang nyata di sebagian besar kebiasaan pengguna Instagram. Dan balik lagi, karena pada dasarnya sifat Underestimate mengarahkan seseorang untuk berfikir sombong, maka hal seperti ini membuktikan kalau ‘sisi pamer’ memang sangat amat terkoneksi dengan sifat Underestimate-nya itu sendiri.

Dan ternyata eh ternyata, perasaan gengsi, gengsi dan gengsi dari seseorang jadi poin tambahan utama munculnya kebiasaan pamer di kalangan rata-rata pengguna sosial media (khususnya Instagram) di periode sekarang. Bahkan, nggak sedikit juga pengguna Instagram yang punya perasaan jaim, jaim dan jaim, yang sering sekali digunakan sebagai senjata ampuh untuk membangun sebuah citra diri berupa ‘label orang baik’ di mata para teman dunia mayanya. Kelas demi kelas makin transparan untuk ditunjukan ke semua orang. Makanya nggak heran kalau manusia satu bumi pengguna Instagram itu seolah-olah semuanya terlihat menjadi orang yang kaya. Malah persis tergambarkan seperti nggak ada orang yang miskin di Instagram.


Tapi, penjelasan ini nggak serta-merta merepresentasikan semua orang pengguna sosial media itu persis seperti apa yang gua bilang barusan. Penjelasan tadi hanya menggambarkan satu contoh yang sekiranya ‘keliatan’ di periode sekarang. Karena sebenarnya masih terdapat juga sebagian manusia lainnya yang tetap menggunakan sosial media sebagai sarana yang sewajarnya.

Yang jelas, Underestimate dan anggapan diri punya ‘kelas dan strata’ sosial itu, merupakan bentuk suatu kesombongan dari manusia. Sombong itu berarti menganggap diri sendiri jauh lebih baik daripada orang lain, dan menganggap orang lain sebagai objek remeh yang dipandang sebelah mata. Sikap sombong itu berarti memandang diri sendiri berada di atas kebenaran, dan merasa sempurna dengan memandang diri sendiri berada di atas orang lain.

Wah, jelas bagi gua sifat seperti ini merupakan tindakan yang nggak baik. Menurut agama Islam, sombong juga merupakan sifat tercela, dan tertera jelas di Al-Qur’an kalau sombong itu merupakan satu sifat yang sangat dilarang untuk dimilki kaum muslim. Bahkan, Allah SWT secara jelas mengatakan dengan berfirman dalam surat Luqman ayat ke-18 yang artinya:

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Sombong itu adalah penghalang pintu kebaikan hati. Hal seperti inilah yang juga membuat cara bersosial kita perlahan luntur. Maka sekali lagi, itulah mengapa pentingnya pemahaman ‘makna hidup’ untuk kehidupan kita sehari-hari. ‘Makna hidup’ itu bukan hanya sebagai penghargaan atas situasi kondisi apa yang sedang kita alami, melainkan lebih dari itu. Karena ‘makna hidup’ itu juga merupakan celah mudah bagi kita guna terhindar dari sifat Underestimate.



“Yang namanya kebenaran itu tak selalu se-romantis kelihatannya”
-Andrea Pirlo-

You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images